Profil Daniel Ek: Anak Stockholm yang Mengguncang Dunia Musik dan Kesehatan

Profil Daniel Ek: Anak Stockholm yang Mengguncang Dunia Musik dan Kesehatan
Daniel Ek

VINANSIA.COM - Daniel Ek mungkin tak pernah bermimpi jadi miliarder. Tapi dunia sudah seperti panggung konser yang selalu menyorotnya. Dulu dia hanya bocah di sudut Stockholm. Komputer adalah teman sejatinya. 

Bukan sekadar untuk main game atau menonton kartun, tapi buat ngulik. Ngulik sampai larut malam, sampai orang rumah geleng-geleng.

Di usia 5 tahun, Ek sudah akrab dengan Commodore 20. Sebuah komputer yang layarnya masih mirip televisi tabung. Sementara anak lain berkejaran di taman, Ek mengetik kode-kode aneh yang entah bisa makan apa tidak.

Tapi tunggu.

Umur 13 tahun, bocah ini mulai memanfaatkan bakatnya. Dia bikin website. Awalnya cuma untuk iseng, tapi siapa sangka orang-orang berani bayar? US$ 50 per website. Naik daun, tarifnya melonjak sampai US$ 5.000. Saat remaja lain sibuk pacaran, Ek sudah punya pegawai sendiri.

Anak Ngulik yang Jadi CEO

Uang mengalir deras. Tapi Ek bukan tipe yang duduk manis menghitung receh. Dia lanjut kuliah di KTH Royal Institute of Technology. Jurusan teknik. Tapi sekolah formal bukan untuknya. Belum genap setahun, dia cabut.

Lalu apa?

Dia melompat ke startup. Jadi CTO di Stardoll, komunitas fashion online. Sempat juga mendirikan Advertigo, platform periklanan digital. Ini bukan sekadar main-main. Tahun 2006, Advertigo dibeli oleh TradeDoubler. Transaksi miliaran rupiah.

Tapi Daniel Ek bosan. Katanya, duit saja tidak cukup. Harus ada yang lebih.

Spotify: Musik Tanpa Batas

Ek tahu persis, musik sedang berdarah-darah. Pembajakan marak, CD bajakan bertebaran. Musisi merugi, label musik megap-megap. Di sinilah naluri bisnisnya bermain. Kenapa tidak bikin platform legal? Musik gratis, tapi tetap bisa untung lewat iklan.

Maka lahirlah Spotify pada 2006. Bersama partnernya, Martin Lorentzon, mereka negosiasi mati-matian dengan label musik. Perusahaan besar awalnya mencibir. “Anak ingusan ini mau ngapain?”

Dua tahun kemudian, Spotify resmi meluncur. Di Swedia dulu. Pelan tapi pasti, semua tunduk pada algoritma Spotify yang jitu. Musik yang kamu suka, disodorkan di depan mata. Discover Weekly jadi primadona.

Tahun 2018, Spotify masuk Wall Street. Direct listing. Valuasinya tembus US$ 30 miliar. Daniel Ek resmi jadi miliarder. Tapi, dia tetap Daniel Ek yang dulu. Kaos oblong, jeans, sneakers. Tak ada jas mahal atau jam tangan mencolok.

Neko Health: Melawan Penyakit Sebelum Terlambat

Lalu datang fase baru. Mungkin Ek bosan lagi. Atau, mungkin kali ini ambisinya lebih mulia.

Di tahun 2018, dia mendirikan Neko Health bersama Hjalmar Nilsonne. Ide dasarnya sederhana, tapi dampaknya bisa luar biasa. Daripada mengobati penyakit, kenapa tidak mencegahnya sejak dini?

Neko Health menciptakan mesin pemindai tubuh berbasis AI. Hanya butuh 15 menit untuk memindai tubuh manusia secara menyeluruh. Sensor canggih memeriksa kulit, mendeteksi potensi kanker, hingga membaca data jantung.

Tak ada tusukan jarum. Tak ada rasa sakit. Semua serba cepat. Setelahnya, hasil langsung dianalisis, lengkap dengan rekomendasi dari dokter.

Investor berbondong-bondong. Tahun 2023, Neko Health mengantongi pendanaan sebesar US$ 65 juta. Valuasinya? Tembus US$ 1,8 miliar. Orang antre untuk dipindai, seolah ini konser Coldplay yang tiketnya ludes dalam hitungan menit.

Visi Seorang Daniel Ek

Bagi Daniel Ek, teknologi bukan sekadar bisnis. Teknologi adalah solusi. Spotify menyelamatkan industri musik, Neko Health ingin menyelamatkan nyawa manusia.

Apakah ini akhirnya? Tentu saja tidak. Kalau ada yang pasti tentang Daniel Ek, itu adalah kebosanannya yang produktif. Saat dunia sudah nyaman dengan yang ada, dia biasanya datang dengan ide baru yang mengacak-acak segalanya.

Dan siapa tahu, panggung selanjutnya sudah menunggu.

#Profil

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index