VINANSIA.COM - Kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Jakarta pada 28 Mei 2025 menandai lebih dari sekadar diplomasi antarnegara. Di balik pertemuan bilateral antara Macron dan Presiden Prabowo Subianto, terselip sinyal kuat soal masa depan energi dunia—dan peran Indonesia di dalamnya.
Salah satu poin strategis dari 21 komitmen kerja sama yang diteken hari itu adalah kesepakatan antara Eramet (perusahaan tambang asal Prancis), Danantara (Badan Pengelola Investasi RI), dan Indonesia Investment Authority (INA) dalam membangun ekosistem hilirisasi nikel di Maluku Utara.
Proyek ini tak berdiri di ruang hampa. Dunia sedang berebut logam kritis seperti nikel, kobalt, dan lithium untuk menopang transisi energi, terutama untuk industri kendaraan listrik (EV). Sementara itu, Indonesia adalah salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Maka, siapa pun yang ingin serius bermain di pasar baterai EV global—cepat atau lambat—harus datang ke Indonesia.
Babak Baru Eramet di Indonesia
Eramet bukan nama baru di Indonesia. Perusahaan ini telah beroperasi di proyek tambang PT Weda Bay Nickel (WBN) sejak 2019, bersama mitra strategis asal Tiongkok, Tsingshan, dan BUMN Antam. Konsesi WBN seluas 47.000 hektare di Halmahera Tengah telah menjadi salah satu tambang nikel laterit terbesar di dunia. Namun selama ini, Eramet relatif bermain di hulu: eksplorasi, penambangan, dan pengapalan bijih nikel.
Kesepakatan baru ini menggeser posisi Eramet ke peran yang lebih dalam—bukan hanya sebagai penambang, tetapi juga sebagai pemain hilirisasi dan pengembang ekosistem industri nikel untuk bahan baku baterai EV. Danantara dan INA akan menjadi penyokong finansial jangka panjang, sementara Eramet membawa keahlian teknis dan pengalaman global dalam pengelolaan proyek tambang dan logam strategis berkelanjutan.
Menurut Pandu Patria Sjahrir, Kepala Eksekutif Investasi Danantara, kerja sama ini mencerminkan “komitmen untuk mendorong hilirisasi nikel kelas dunia di Indonesia.” Eramet sendiri menyatakan bahwa langkah ini selaras dengan strategi global mereka dalam mendukung transisi energi dan keterlibatan aktif dalam rantai pasok EV.
Momen Strategis di Tengah Geopolitik Logam
Masuknya Eramet secara lebih serius dalam hilirisasi nikel Indonesia terjadi di saat yang sangat strategis. Selama ini, industri nikel hilir Indonesia didominasi oleh perusahaan-perusahaan asal Tiongkok.
Kawasan industri seperti Morowali dan Weda Bay dibangun dengan dana, teknologi, dan pasokan dari Negeri Tirai Bambu. Dominasi ini tidak hanya dalam bentuk investasi, tetapi juga penguasaan teknologi pengolahan nikel—baik lewat smelter RKEF untuk feronikel maupun teknologi HPAL untuk nikel sulfat, bahan utama baterai EV.
Sementara itu, negara-negara Barat—termasuk Uni Eropa dan Amerika Serikat—semakin menyadari bahwa ketergantungan penuh pada Tiongkok dalam rantai pasok logam kritis adalah risiko strategis.
Maka muncullah “strategic decoupling”: upaya membangun alternatif pasokan di negara-negara mitra seperti Indonesia. Eramet adalah perpanjangan tangan Prancis (dan Eropa) dalam strategi ini.
Keterlibatan INA dan Danantara juga menunjukkan bahwa Indonesia mulai memosisikan dirinya sebagai tuan rumah, bukan sekadar penyedia lahan tambang.
Pembiayaan jangka panjang yang dikelola institusi negara memungkinkan proyek hilirisasi berjalan berkelanjutan, tak tergantung pada investasi asing semata. Kombinasi modal domestik dan teknologi asing seperti inilah yang dibutuhkan untuk membangun ekosistem industri bernilai tambah tinggi.
Antara Peluang dan Tantangan Tata Kelola
Meski menjanjikan, proyek ini tetap menghadapi tantangan besar. Sejarah hilirisasi di Indonesia sarat dengan masalah tata kelola, konflik sosial, hingga persoalan lingkungan. Di kawasan Halmahera, keluhan masyarakat terhadap pencemaran air dan udara serta ketimpangan sosial akibat operasi tambang bukan hal baru.
Jika proyek hilirisasi kelas dunia ingin diwujudkan, maka standar operasional pun harus naik kelas—bukan hanya dari sisi teknis, tetapi juga etika dan transparansi.
Eramet menyatakan komitmennya terhadap prinsip tambang berkelanjutan dan praktik bisnis sesuai standar internasional. Namun komitmen di atas kertas saja tidak cukup. Diperlukan pengawasan independen, pelibatan masyarakat lokal secara bermakna, serta transparansi dalam rantai pasok dan pembagian manfaat.
Dalam konteks ini, keterlibatan Eramet juga bisa menjadi “benchmark” penting. Sebagai perusahaan Eropa yang tunduk pada regulasi lingkungan dan sosial yang ketat di negara asalnya, Eramet punya tekanan reputasi yang lebih tinggi ketimbang banyak perusahaan tambang dari negara lain. Bila konsisten, mereka bisa mengangkat standar praktik industri tambang di Indonesia.
Jalan Menuju Kemandirian Industri
Apa yang sedang dibangun di Halmahera bersama Eramet sebetulnya menyentuh inti dari cita-cita kemandirian ekonomi Indonesia. Yaitu: agar negeri ini tak terus-menerus menjadi eksportir bahan mentah, tetapi pemain utama dalam rantai nilai global. Hilirisasi bukan sekadar membuat smelter, melainkan membangun ekosistem industri yang mampu menciptakan teknologi, lapangan kerja, dan nilai tambah tinggi.
Namun jalan menuju sana tidak mudah. Indonesia harus bersaing dengan negara lain dalam menarik investasi, menjamin kepastian hukum, menyediakan infrastruktur, serta menjaga stabilitas sosial dan politik. Di sisi lain, Indonesia juga harus piawai memainkan “permainan besar”—memanfaatkan rivalitas global untuk kepentingan nasional, bukan malah jadi pion dalam persaingan negara adidaya.
Kerja sama Eramet–Danantara–INA adalah salah satu titik terang. Tapi ia hanya akan sukses jika semua pihak berkomitmen penuh: dari korporasi tambang, pemerintah pusat dan daerah, lembaga keuangan negara, hingga masyarakat sipil.
Sebab masa depan nikel Indonesia bukan hanya soal logam—tapi soal apakah kita siap jadi bangsa industri, atau tetap terjebak sebagai penonton dalam permainan besar energi global.