VINANSIA.COM - Pada kuartal I 2025, ekonomi Indonesia tumbuh 4,8%. Tidak buruk, mengingat situasi global yang belum sepenuhnya stabil. Tapi satu provinsi tampil mencolok—Maluku Utara mencatat pertumbuhan ekonomi 34,6% (yoy). Itu tujuh kali lipat dari rata-rata nasional. Bukan hanya yang tertinggi di Indonesia, tapi juga salah satu yang tertinggi sepanjang sejarah pertumbuhan regional.
Apa yang terjadi di sana?
Jawabannya sederhana, tapi berdampak besar: hilirisasi nikel.
- Baca Juga India: Rising Star Ekonomi Asia
Dari Provinsi Pinggiran Jadi Episentrum Industri
Beberapa tahun lalu, nama Maluku Utara jarang terdengar dalam percakapan tentang ekonomi nasional. Namun itu berubah cepat ketika pemerintah mendorong hilirisasi tambang secara agresif, terutama nikel yang menjadi bahan baku utama baterai kendaraan listrik.
Maluku Utara bukan hanya kaya akan cadangan nikel. Lebih penting, provinsi ini berhasil mengubah peran dari sekadar “penghasil bijih” menjadi “pemroses nilai tambah.” Berbagai smelter dibangun dalam kawasan industri seperti Weda Bay Industrial Park. Infrastruktur penunjang seperti pelabuhan, jaringan listrik, hingga permukiman pekerja ikut tumbuh cepat.
Pertumbuhan Didorong Ekspor dan Investasi
Kalau ditelisik datanya, pertumbuhan ekonomi Maluku Utara ditopang oleh:
Ekspor: tumbuh 51,17%
Investasi tetap (PMTB): naik 19,7%
Belanja pemerintah: meningkat 9,87%
Konsumsi rumah tangga: ikut tumbuh 4,92%
Dengan kata lain, semua roda ekonomi bergerak sekaligus. Tapi yang paling menonjol adalah lonjakan ekspor nikel olahan—seperti nickel matte dan nickel sulfate—yang menjadi andalan industri baterai global.
Investasi masuk deras, baik dari dalam negeri maupun luar. Skema kawasan industri terpadu mempermudah izin dan logistik, menciptakan ekosistem industri yang efisien. Di sisi lain, belanja pemerintah dan konsumsi masyarakat menunjukkan bahwa pertumbuhan ini mulai menyentuh lapisan ekonomi lokal.
Tidak Tanpa Tantangan
Namun bukan berarti semuanya mulus. Impor Maluku Utara juga naik 41,15%, menandakan bahwa banyak bahan baku dan barang modal masih harus didatangkan dari luar. Ini bisa berarti dua hal: industri sedang tumbuh pesat, tapi juga menunjukkan ketergantungan pada luar untuk mendukung produksi.
Selain itu, ada tantangan jangka panjang yang harus diantisipasi:
Ketimpangan: Apakah pertumbuhan ini benar-benar dinikmati masyarakat lokal, atau hanya terpusat pada segelintir pelaku industri?
Lingkungan: Aktivitas pertambangan dan pemrosesan bisa berdampak serius jika tidak dikendalikan.
Pembangunan SDM: Bonus ekonomi bisa menguap jika masyarakat setempat tidak diberdayakan.
Pelajaran untuk Daerah Lain
Maluku Utara sedang menunjukkan bahwa strategi hilirisasi bukan sekadar jargon. Bila dirancang serius—dengan insentif, infrastruktur, dan tata kelola yang tepat—potensi daerah bisa berubah menjadi kekuatan ekonomi nasional.
Provinsi lain yang punya sumber daya serupa (bukan hanya tambang, tapi juga pertanian atau pariwisata), bisa belajar dari sini. Kuncinya adalah:
Bangun ekosistem, bukan hanya proyek
Dorong investasi jangka panjang, bukan serapan sesaat
Pastikan nilai tambah tinggal di daerah, bukan pergi ke luar
Penutup
Ekonomi yang tumbuh 34,6% tentu patut dirayakan. Tapi jauh lebih penting adalah apa yang dilakukan setelah pertumbuhan itu terjadi. Akankah Maluku Utara menjadi contoh sukses berkelanjutan, atau sekadar “booming sementara”?
Satu hal pasti: pertumbuhan tidak datang karena kebetulan. Ia muncul karena pilihan kebijakan. Dan kebijakan yang tepat, bisa mengubah nasib sebuah provinsi—dalam waktu yang jauh lebih singkat dari yang kita bayangkan.