VINANSIA.COM - Di Indonesia, mobil identik dengan Jepang.
Toyota, Honda, Suzuki, dan Daihatsu sudah seperti raja tanpa tandingan. Lebih dari setengah abad mereka membangun kerajaan di sini. Merek-merek itu bukan hanya mendominasi jalan raya, tapi juga budaya.
Mobil keluarga? Avanza.
Mobil tangguh? Fortuner.
Mobil irit? Brio.
Masyarakat sudah hafal di luar kepala.
Tapi zaman berubah.
Muncul ancaman baru. Bukan dari Eropa atau Amerika. Tapi dari Asia sendiri. Tiongkok sudah lebih dulu datang. Wuling, DFSK, lalu BYD. Dan kini, Vietnam ikut masuk ke arena.
Namanya: VinFast.
Munculnya Pemain Baru
VinFast bukan nama lama di dunia otomotif. Bahkan bisa dibilang masih bayi.
Didirikan tahun 2017, baru tujuh tahun umurnya. Tapi sepak terjangnya luar biasa. Perusahaan ini langsung menargetkan pasar global. Mereka bukan hanya ingin menguasai Vietnam, tapi juga menantang Jepang, Korea, dan Amerika di level dunia.
Banyak yang heran: kok bisa?
Jawabannya ada pada induknya: Vingroup.
Vingroup adalah konglomerasi terbesar di Vietnam. Pemiliknya, Pham Nhat Vuong, adalah orang terkaya di negara itu. Ia adalah versi Vietnam dari Elon Musk atau Jeff Bezos.
Dulu, Pham sukses dengan bisnis mi instan di Ukraina. Dari sana, ia membangun kerajaan bisnis yang merambah ke real estate, ritel, rumah sakit, sekolah, hingga teknologi.
Tapi ia tidak puas. Ia ingin menciptakan sesuatu yang bisa mengangkat nama Vietnam di panggung dunia.
Pilihannya jatuh pada otomotif.
VinFast lahir dengan ambisi besar: menjadi Tesla-nya Asia.
Mereka bergerak cepat. Di tahun pertama, langsung membangun pabrik seluas 335 hektare di Hai Phong. Dibantu desainer asal Italia, mereka merancang mobil yang elegan. Untuk teknologi, mereka menggandeng BMW dan Bosch.
Targetnya? Menjadi pemimpin mobil listrik.
VinFast ke Indonesia: Perang Dimulai
Tahun lalu, VinFast mengumumkan sesuatu yang mengejutkan. Mereka akan membangun pabrik di Subang, Jawa Barat.
Investasinya? 200 juta dolar.
Produksi? 50.000 unit per tahun.
Target pasar? Indonesia dan Asia Tenggara.
Banyak yang bertanya-tanya: kenapa Indonesia?
Jawabannya sederhana: ini medan perang utama.
Indonesia adalah pasar mobil terbesar di Asia Tenggara. Jumlah kendaraan terus bertambah. Tapi yang lebih menarik, Indonesia sedang beralih ke mobil listrik.
Pemerintah memberi banyak insentif. Ada subsidi untuk pembeli, ada keringanan pajak, ada dorongan investasi baterai. Semua tanda-tanda menunjukkan bahwa masa depan ada di listrik.
VinFast tidak mau ketinggalan.
Mereka melihat celah. Jepang masih terlalu nyaman dengan mobil bensin. Tesla terlalu mahal. Tiongkok masih fokus ke mobil besar.
VinFast masuk dengan strategi yang berbeda: SUV listrik murah.
Model yang mereka bawa ke Indonesia adalah VF 3, VF 5, VF 6, dan VF 7. Semuanya dalam kategori harga yang lebih terjangkau dibanding pesaingnya.
Mereka meniru strategi Wuling: masuk lewat harga.
Dan itu berbahaya bagi Jepang.
Jepang yang Terancam
Selama ini, Jepang tidak pernah benar-benar terganggu.
Di Indonesia, mereka punya pabrik besar. Mereka punya jaringan diler luas. Mereka punya reputasi sebagai mobil yang awet dan tahan banting.
Tapi mereka lambat dalam beradaptasi ke listrik.
Toyota masih sibuk dengan hybrid. Honda baru saja memperkenalkan satu-dua model listrik. Sementara itu, VinFast, Wuling, dan BYD sudah maju lebih jauh.
Dan ini masalah besar.
Indonesia mungkin masih didominasi bensin, tapi tren sedang bergeser. Dalam beberapa tahun, populasi mobil listrik akan semakin banyak.
Kalau Jepang tidak bergerak cepat, mereka bisa kehilangan dominasi.
Kita sudah pernah melihat ini di industri lain.
Dulu, Nokia adalah raja ponsel. Lalu datang iPhone dan Android. Nokia tidak segera berubah. Sekarang, mereka hampir tidak terdengar lagi.
Akankah hal yang sama terjadi pada Toyota dan Honda?
Belum tentu. Tapi ancamannya nyata.
Strategi VinFast
VinFast tidak hanya datang untuk menjual mobil. Mereka datang dengan ekosistem.
Di Vietnam, mereka sudah membangun jaringan stasiun pengisian daya sendiri. Mereka juga menerapkan model baterai sewa, di mana pengguna cukup membeli mobilnya saja, sementara baterainya bisa diganti jika rusak.
Model ini bisa saja diterapkan di Indonesia.
Selain itu, VinFast juga agresif di pemasaran. Mereka aktif di media sosial, mereka ikut pameran otomotif, mereka menawarkan harga yang lebih bersaing.
Mereka tahu, untuk bisa menang di Indonesia, mereka harus membangun kepercayaan.
Dan mereka siap untuk itu.
Mampukah VinFast Menang?
Pertanyaannya sekarang: bisakah VinFast benar-benar menaklukkan pasar Indonesia?
Jawabannya: belum tentu.
Ada tantangan besar.
Pertama, infrastruktur mobil listrik di Indonesia masih terbatas. Stasiun pengisian daya belum sebanyak SPBU. Konsumen masih ragu soal daya tahan baterai.
Kedua, nama VinFast masih baru. Orang Indonesia lebih percaya Toyota atau Honda karena sudah terbukti puluhan tahun.
Ketiga, strategi Jepang juga tidak bisa diremehkan. Mereka memang lambat, tapi bukan berarti mereka tidak bergerak. Bisa saja dalam beberapa tahun, mereka akan mulai meluncurkan model listrik yang kompetitif.
Tapi di sisi lain, ada peluang besar.
Jika harga tetap terjangkau, jika layanan purna jual bagus, jika mereka bisa membangun kepercayaan, maka VinFast bisa menjadi pemain besar di sini.
Lihat saja Wuling. Lima tahun lalu, orang meremehkan mereka. Sekarang, mobil listrik mereka Air EV sudah di mana-mana.
Jika Wuling bisa, kenapa VinFast tidak?
Akhirnya, Pasar yang Menentukan
Persaingan ini menarik untuk disimak.
Jepang mungkin masih mendominasi sekarang, tapi ada ancaman nyata dari Tiongkok dan Vietnam.
VinFast sudah mengambil langkah besar dengan masuk ke Indonesia. Mereka sudah mulai menjual mobil, membangun pabrik, dan menciptakan pasar.
Tapi apakah mereka bisa bertahan?
Pada akhirnya, bukan pabrik atau strategi pemasaran yang menentukan. Tapi konsumen.
Jika orang Indonesia mau beralih ke listrik, jika mereka mulai menerima merek-merek baru, maka era Jepang bisa saja berakhir.
Tapi kalau tidak? Maka VinFast hanya akan menjadi bintang yang bersinar sebentar, lalu redup.
Perang baru saja dimulai.
Siapa yang menang? Kita lihat saja nanti.