VINANSIA.COM – Ada masa ketika nama Sanyo terdengar gagah di telinga pecinta elektronik. Mereka bukan cuma bikin rice cooker atau tape recorder, tapi juga pionir baterai, panel surya, sampai peralatan rumah tangga.
Singkatnya, kalau Jepang punya Avengers di dunia elektronik, Sanyo pasti salah satu anggotanya. Tapi sayangnya, hidup tidak selalu seperti anime shonen: kadang tokoh utama bisa tumbang sebelum klimaks.
Dari Bintang ke Skandal
Tahun 2004–2005, Sanyo kena hantaman bertubi-tubi. Pertama, skandal akuntansi yang bikin investor geleng-geleng kepala.
Kedua, kerugian besar yang bikin neraca keuangan mereka mirip dompet anak kos di akhir bulan.
Ketiga, gempa Niigata yang merusak pabrik semikonduktor mereka. Lengkap sudah: drama, tragedi, dan komedi pahit dalam satu paket.
Bayangkan, perusahaan yang dulu jadi pionir malah sibuk menambal lubang keuangan. Fokus bisnis pun mulai kabur. Sanyo seperti orang yang punya bakat jadi atlet, tapi malah sibuk main Mobile Legends sampai lupa latihan.
Pinjaman yang Bikin Tercekik
Untuk bertahan hidup, Sanyo mengambil pinjaman besar dari Goldman Sachs, Sumitomo Mitsui, dan Daiwa. Tapi ini bukan pinjaman ala “utang ke teman, bayar bulan depan.”
Pinjaman ini datang dengan hak veto strategis. Artinya, Sanyo tidak lagi bisa bebas ambil keputusan. Mereka seperti anak kost yang harus izin ke landlord setiap kali mau masak mie instan.
Bisnis yang sebenarnya seksi, yakni baterai dan energi terbarukan, mulai terjepit. Segmen lain malah jadi pembakar uang. Sanyo seperti punya satu anak emas yang pintar, tapi harus menanggung saudara-saudara lain yang bikin masalah.
Panasonic Masuk dengan Senyum Licik
Di tengah kekacauan itu, muncullah Panasonic. Mereka melihat peluang emas: teknologi baterai Sanyo adalah kunci masa depan kendaraan listrik. Kalau dunia sedang bersiap balapan EV, Panasonic ingin jadi pembalap utama.
Tahun 2009, Panasonic resmi mengakuisisi Sanyo dengan harga sekitar $4,6 miliar. Ini bukan “bangkrut” versi literal, tapi Sanyo sudah terlalu lemah untuk bertahan sendiri. Panasonic datang seperti predator yang melihat mangsa kelelahan.
Nama Hilang, Teknologi Hidup
Setelah akuisisi, nama Sanyo perlahan menghilang. Divisi-divisi dijual, dipangkas, atau dilebur. Brand Sanyo yang dulu terpampang di televisi dan kulkas rumah-rumah Asia akhirnya tamat riwayatnya.
Ironisnya, teknologi baterai Sanyo justru jadi fondasi penting bagi Panasonic EV batteries. Dan lebih ironis lagi, teknologi itu kemudian bermitra dengan… Tesla.
Jadi, meski nama Sanyo lenyap, DNA mereka masih berlari di jalanan bersama mobil listrik paling hype di dunia.
Dari Pionir ke Catatan Kaki
Kisah Sanyo adalah pengingat yang pahit. Bahkan inovator pun bisa hilang kalau utang, restrukturisasi besar, dan kehilangan fokus terjadi bersamaan. Mereka pernah jadi pionir global, tapi akhirnya hanya jadi catatan kaki dalam sejarah industri elektronik.
Bayangkan, dari perusahaan yang dulu bikin panel surya dan baterai canggih, kini tinggal jadi cerita nostalgia. Kalau ada museum “korban akuisisi,” Sanyo pasti dapat ruang pameran khusus.
Pelajaran dari Sanyo
Apa yang bisa kita pelajari dari drama ini?
- Jangan kebanyakan utang. Utang itu seperti makan gorengan: enak di awal, tapi bisa bikin kolesterol naik kalau kebablasan.
- Fokus itu penting. Kalau punya bisnis yang menjanjikan, jangan biarkan segmen lain menguras energi.
- Predator selalu mengintai. Di dunia bisnis, ada Panasonic yang siap menelan Sanyo kapan saja.
Sanyo pernah jadi bintang elektronik Jepang, pionir baterai, panel surya, dan peralatan rumah tangga. Tapi satu krisis mengubah segalanya. Dari skandal akuntansi, gempa Niigata, hingga utang yang bikin tercekik, mereka akhirnya jatuh ke pelukan Panasonic.
Nama Sanyo memang hilang, tapi teknologi mereka tetap hidup—bahkan jadi bagian penting dari revolusi kendaraan listrik bersama Tesla.
Jadi, kalau suatu hari Anda melihat mobil Tesla melaju kencang, ingatlah: ada jejak Sanyo di dalam baterainya. Pionir yang hilang ditelan rivalnya, tapi diam-diam masih berdenyut di masa depan.