VINANSIA.COM – Pemerintah menghadapi tantangan serius soal cadangan devisa nasional. Meski tingkat kepatuhan eksportir terhadap aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) sudah tinggi (95%), kontribusi terhadap cadangan devisa nasional belum sesuai target.
Cadangan devisa justru stagnan dan cenderung menurun sepanjang 2025, dari kisaran 154–157 miliar (Jan–Mar) menjadi 150,1 miliar (Nov).
Hal ini mendorong rencana revisi atas PP No. 8/2025 yang sebelumnya diterbitkan pada Maret lalu.
Harapan Pemerintah Saat PP 8/2025 Diterbitkan
Semua DHE Sumber Daya Alam (SDA) wajib disimpan di bank domestik selama 12 bulan. Target tambahan cadangan devisa: US$ 80–100 miliar per tahun.
Logika kebijakan: “Jika dolar tetap tinggal di Indonesia ? ekonomi lebih kuat.”
Realita di Lapangan
- Kepatuhan eksportir tinggi (95%).
- Namun cadangan devisa tidak bertambah signifikan.
- Penyebab: meski disimpan di bank domestik, DHE masih bisa dipindahkan antar bank atau dikonversi, sehingga suplai dolar di sistem keuangan domestik belum optimal.
Rencana Revisi Aturan DHE
Pemerintah menyiapkan strategi baru agar devisa tidak “bocor”:
- Semua DHE wajib ditempatkan di bank Himbara (BUMN).
- Konversi ke rupiah dibatasi maksimal 50%.
- Retensi 12 bulan tetap berlaku.
- Valuta asing tetap bisa digunakan untuk kebutuhan impor, jasa, dan modal kerja.
Reaksi & Kritik
- Lani Darmawan (Perbanas): aturan baru bisa mengurangi pilihan eksportir dan mempersempit peran bank swasta.
- Myrdal Gunarto (Maybank): retensi dan konversi sebaiknya lebih fleksibel agar bank non-Himbara tetap berperan dalam ekosistem devisa.
Strategi baru ini menunjukkan bahwa menyimpan devisa di bank domestik saja tidak cukup. Pemerintah kini berusaha memastikan devisa benar-benar berkontribusi pada cadangan nasional dengan memperketat aturan lokasi penyimpanan dan konversi.
Namun, kritik dari perbankan swasta menyoroti risiko berkurangnya kompetisi dan fleksibilitas. Artinya, efektivitas kebijakan akan sangat bergantung pada keseimbangan antara kontrol pemerintah dan ruang gerak pelaku usaha.