VINANSIA.COM - Indofarma Global Medika (IGM) akhirnya pailit. Keputusan ini diketuk oleh Mahkamah Agung, menandai akhir dari perjalanan anak usaha PT Indofarma Tbk yang dulu diharapkan menjadi pemain utama dalam distribusi farmasi di Indonesia.
Padahal, perusahaan ini bergerak di sektor yang justru berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Pandemi sempat membuka peluang besar bagi industri alat kesehatan dan farmasi. Tapi ironisnya, di saat banyak perusahaan swasta justru meroket, IGM malah tumbang.
Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana sebuah anak usaha BUMN yang bergerak di bidang esensial bisa berakhir di meja pengadilan dengan status pailit?
Utang yang Terus Membengkak
Masalah utama yang menyeret IGM ke jurang kebangkrutan adalah utang yang tidak terkendali.
Awalnya, persoalan keuangan IGM masih tampak sebagai kesulitan likuiditas biasa—sesuatu yang bisa terjadi di banyak perusahaan. Beberapa pembayaran kepada pemasok mengalami keterlambatan, arus kas mulai ketat, tetapi bisnis masih berjalan.
Namun, semakin lama, jumlah kewajiban yang belum dibayar semakin besar. Pemasok mulai kehilangan kesabaran. Beberapa dari mereka menghentikan pengiriman barang, menyebabkan operasional terganggu.
Di saat yang sama, kewajiban kepada kreditur terus berjalan. Bunga utang bertambah, sementara pemasukan menurun. Hingga akhirnya, neraca keuangan menunjukkan bahwa total utang perusahaan jauh melebihi aset yang dimiliki.
Ketika kreditur membawa kasus ini ke pengadilan, tidak ada lagi jalan keluar. Pengadilan memutuskan bahwa IGM dalam kondisi insolven—tidak mampu membayar utang—dan akhirnya dipailitkan.
Fraud dan Kejanggalan Keuangan
Namun, kepailitan IGM bukan hanya disebabkan oleh beban utang yang besar. Ada faktor lain yang membuat situasi semakin rumit: dugaan fraud dan mismanajemen keuangan.
Laporan audit internal serta temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan adanya transaksi fiktif di dalam perusahaan. Ada pengadaan barang yang tidak jelas keberadaannya. Ada aliran dana yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Bahkan, ada indikasi bahwa beberapa pinjaman diambil dengan menggunakan nama karyawan tanpa sepengetahuan mereka.
Praktik seperti ini tentu memperburuk kondisi keuangan perusahaan. Jika saja masalahnya hanya soal strategi bisnis yang keliru, mungkin IGM masih bisa diselamatkan. Tetapi ketika keuangan sudah bocor dari dalam, kejatuhan menjadi sesuatu yang sulit dihindari.
Bisnis yang Seharusnya Menguntungkan
Ironisnya, jika melihat model bisnisnya, IGM seharusnya tidak mengalami kesulitan sebesar ini.
Sebagai perusahaan distribusi farmasi, IGM memiliki peran penting dalam rantai pasok obat-obatan dan alat kesehatan. Dalam ekosistem industri farmasi nasional, bisnis distribusi adalah salah satu yang paling stabil dan menguntungkan.
Apalagi, dengan dukungan dari induknya yang merupakan bagian dari BUMN farmasi, IGM seharusnya memiliki keunggulan dalam mendapatkan kontrak dari pemerintah maupun rumah sakit besar.
Namun, beberapa faktor membuat perusahaan ini gagal memanfaatkan keunggulan tersebut.
Salah satunya adalah salah perhitungan dalam pengadaan barang selama pandemi. Saat Covid-19 melanda, perusahaan farmasi berlomba-lomba meningkatkan produksi dan stok alat kesehatan. Begitu juga dengan IGM.
Namun, ketika pandemi mereda, stok yang menumpuk malah menjadi beban. Tidak semua barang bisa terserap oleh pasar. Tidak semua alat kesehatan bisa dijual kembali dengan harga yang sama seperti saat dibeli.
Kesalahan perhitungan ini membuat keuangan IGM semakin tertekan.
Pengawasan yang Lemah
Salah satu pertanyaan besar dalam kasus ini adalah: bagaimana mungkin kebocoran keuangan sebesar ini bisa terjadi tanpa terdeteksi sejak awal?
Jawabannya adalah lemahnya pengawasan.
Dalam perusahaan dengan sistem tata kelola yang baik, transaksi keuangan diawasi secara ketat. Ada sistem audit internal yang bekerja untuk memastikan bahwa setiap transaksi tercatat dengan benar dan sesuai dengan kebijakan perusahaan.
Namun, di IGM, pengawasan ini tampaknya tidak berjalan dengan efektif. Praktik-praktik yang merugikan perusahaan bisa berlangsung dalam waktu lama sebelum akhirnya terungkap.
Ketika akhirnya berbagai kejanggalan ini ditemukan, kondisinya sudah terlalu parah untuk bisa diperbaiki.
Dampak Kepailitan
Dengan status pailit, aset-aset IGM kini dalam proses likuidasi. Artinya, aset-aset yang tersisa akan dijual untuk membayar kreditur.
Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh manajemen perusahaan, tetapi juga oleh berbagai pihak yang selama ini bergantung pada IGM.
Pemasok yang masih memiliki piutang kepada perusahaan ini kini terancam tidak bisa mendapatkan pembayaran penuh.
Karyawan juga menghadapi ketidakpastian. Mereka yang masih bertahan di perusahaan kini harus mencari pekerjaan baru di tengah kondisi industri yang semakin kompetitif.
Bagi industri farmasi secara keseluruhan, kepailitan IGM juga menjadi peringatan bahwa meskipun sektor ini sedang berkembang, tidak ada jaminan bahwa setiap pemain bisa bertahan jika tidak dikelola dengan baik.
Pelajaran dari Kasus Ini
Kisah bangkrutnya IGM memberikan beberapa pelajaran penting, terutama dalam hal tata kelola perusahaan dan manajemen keuangan.
Utang yang tidak terkendali bisa menjadi bom waktu
Banyak perusahaan yang bertahan hidup dengan mengandalkan utang. Namun, jika tidak dikelola dengan hati-hati, utang justru bisa menjadi bumerang yang menghancurkan bisnis.
Fraud dan mismanajemen adalah kombinasi mematikan
Salah strategi bisnis bisa diperbaiki. Namun, jika ditambah dengan kebocoran keuangan akibat fraud, situasinya menjadi lebih sulit untuk diselamatkan.
Pengawasan yang lemah membuka celah untuk penyimpangan
Jika sistem kontrol internal tidak berjalan dengan baik, penyalahgunaan dana bisa terjadi tanpa terdeteksi dalam waktu lama. Ini yang tampaknya terjadi di IGM.
Bisnis yang menguntungkan tetap bisa bangkrut jika tidak dikelola dengan baik
Tidak ada bisnis yang kebal dari kebangkrutan. Bahkan perusahaan yang bergerak di sektor yang sedang tumbuh bisa runtuh jika salah dalam mengelola keuangan dan operasionalnya.
Penutup
Indofarma Global Medika adalah contoh nyata bagaimana sebuah perusahaan bisa jatuh bukan hanya karena faktor eksternal, tetapi juga karena masalah internal yang tidak terselesaikan.
Sebagai anak usaha BUMN, seharusnya IGM memiliki fondasi yang kuat untuk bertahan dalam industri farmasi nasional. Namun, ketika utang tidak dikelola dengan baik, fraud dibiarkan terjadi, dan pengawasan tidak berjalan efektif, kebangkrutan menjadi sesuatu yang tak terhindarkan.
Kasus ini adalah peringatan bahwa tidak ada perusahaan yang benar-benar aman jika tata kelolanya bermasalah. Ke depan, yang dibutuhkan bukan hanya perbaikan dalam sistem keuangan, tetapi juga penguatan pengawasan agar kasus seperti ini tidak kembali terulang di perusahaan lain.