VINANSIA.COM - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memasuki babak baru dalam pembangunan infrastruktur nasional. Dalam berbagai kesempatan, Prabowo menegaskan komitmennya untuk memberikan porsi lebih besar kepada sektor swasta dalam menggarap proyek-proyek strategis seperti jalan tol, pelabuhan, dan bandara. Kebijakan ini tidak hanya mencerminkan upaya efisiensi fiskal, tetapi juga menjadi respons atas keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Langkah ini menjadi semakin relevan ketika melihat besarnya kebutuhan pendanaan infrastruktur nasional. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, pemerintah Indonesia membutuhkan dana setidaknya Rp1.905 triliun untuk membangun infrastruktur hingga tahun 2029. Namun, kemampuan fiskal negara hanya mampu menutup sekitar 60% dari kebutuhan tersebut melalui APBN dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sisanya, sekitar Rp753,11 triliun, harus ditutupi melalui skema alternatif, termasuk partisipasi swasta.
Dominasi BUMN Karya dalam Proyek Infrastruktur
Selama ini, BUMN Karya telah menjadi tulang punggung pembangunan infrastruktur di Indonesia. Peran mereka sangat dominan, berkat dukungan pemerintah dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN) dan penugasan langsung. Namun, dominasi ini mulai dipertanyakan.
Presiden Prabowo secara terbuka mengkritik kinerja BUMN Karya yang dinilai tertinggal dibandingkan perusahaan swasta, baik dalam maupun luar negeri yang lebih modern, inovatif dan efisien. Ia menyoroti ketergantungan BUMN Karya terhadap suntikan anggaran dari Kementerian Keuangan melalui skema PMN, yang menurutnya membuat mereka kurang efisien dan tidak optimal dalam menjalankan proyek. Ketergantungan ini dianggap menciptakan mentalitas "akan selalu dibantu negara", sehingga menghambat inovasi dan daya saing.
Mengintip Kinerja Keuangan BUMN Karya: Beban Berat di Tengah Pemulihan
Kondisi keuangan BUMN Karya pada kuartal I 2025 menunjukkan tantangan serius yang mereka hadapi. Empat perusahaan konstruksi milik negara—PT Adhi Karya (ADHI), PT PP (PTPP), PT Wijaya Karya (WIKA), dan PT Waskita Karya (WSKT)—berada dalam tekanan, meskipun beberapa menunjukkan tanda-tanda pemulihan.
PT Adhi Karya (ADHI) mencatatkan laba tahun berjalan sebesar Rp6,72 miliar, namun masih dibebani utang besar senilai Rp24,81 triliun.
PT PP (PTPP) menjadi satu-satunya yang mencatatkan laba tahun berjalan signifikan, yakni Rp72,06 miliar. Meskipun utangnya mencapai Rp41,14 triliun, PTPP menunjukkan ketahanan yang relatif lebih baik. Meskipun tidak sebesar WSKT dan WIKA, angka ini tetap signifikan dan menjadi fokus dalam strategi efisiensi.
PT Wijaya Karya (WIKA) mencatat rugi bersih tipis sebesar Rp783 juta. WIKA memiliki utang sebesar Rp50,04 triliun, turun dari Rp51,6 triliun pada tahun sebelumnya. WIKA juga menghadapi tantangan dalam memenuhi kewajiban obligasi dan sukuk yang jatuh tempo, yang menyebabkan sahamnya disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia.
PT Waskita Karya (WSKT) berada dalam kondisi paling kritis, mencatatkan rugi periode berjalan sebesar Rp1,36 triliun dan utang sebesar Rp68,13 triliun. Sahamnya masih disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia, menjadikannya fokus utama dalam upaya penyelamatan BUMN Karya.
Peran Ganda BUMN Karya: Antara Agen Pembangunan dan Entitas Bisnis
Di tengah dinamika pembangunan dan tekanan fiskal, BUMN Karya menghadapi dilema eksistensial. Mereka dituntut untuk tetap menjadi motor pembangunan nasional, namun juga harus beroperasi layaknya perusahaan swasta yang efisien dan menguntungkan.
Beberapa pengamat ekonomi menilai bahwa BUMN Karya terlalu dibebani proyek-proyek negara yang tidak menguntungkan secara finansial. Proyek-proyek tersebut tetap dipaksakan melalui penugasan pemerintah, meskipun tidak memberikan pemasukan yang memadai. Akibatnya, neraca keuangan mereka terus tertekan.
Masalah lain yang tak kalah krusial adalah lemahnya tata kelola. Penempatan komisaris dan direksi yang berasal dari kalangan non-profesional, bahkan titipan politik, memperburuk kondisi. Ketidaksesuaian antara latar belakang dan kebutuhan industri konstruksi membuat pengambilan keputusan strategis menjadi tidak optimal.
Mengapa Kinerja Swasta Lebih Unggul?
Beberapa pengamat ekonomi menilai Perusahaan swasta di sektor konstruksi dinilai lebih modern dan efisien dibandingkan BUMN Karya. Hal ini disebabkan oleh kebebasan mereka dari belenggu birokrasi dan fokus pada pengembalian investasi (ROI), bukan mandat pelayanan publik.
Selain itu, perusahaan swasta lebih cepat beradaptasi dengan tren global, seperti produk rendah emisi karbon yang kini menjadi standar internasional. Sementara itu, BUMN Karya masih dibebani mandat ganda, termasuk proyek strategis nasional (PSN) yang tidak selalu layak secara keekonomian.
Tantangan dan Peluang bagi BUMN Karya
Pergeseran kebijakan ini tentu membawa tantangan tersendiri bagi BUMN Karya. Mereka harus siap bersaing lebih ketat dengan pemain swasta, baik lokal maupun internasional. Efisiensi operasional, inovasi, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan model bisnis yang lebih kolaboratif akan menjadi kunci.
Namun, di balik tantangan tersebut, tersimpan peluang besar. BUMN Karya dapat memanfaatkan pengalaman dan keahlian yang telah mereka bangun untuk bertransformasi menjadi mitra strategis bagi sektor swasta. Skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) bisa menjadi model yang lebih relevan untuk masa depan.
Transformasi ini berpotensi menjadi katalis positif bagi BUMN Karya untuk tumbuh sebagai entitas bisnis yang lebih kuat, efisien, dan berkelanjutan. Dengan peran baru sebagai mitra strategis dalam ekosistem pembangunan nasional yang lebih dinamis, BUMN Karya dapat tetap relevan dan berkontribusi secara signifikan.