VINANSIA.COM - Akuisisi mayoritas saham Bank Central Asia (BCA) oleh keluarga Hartono pada tahun 2002 adalah salah satu kisah paling epik dan transformatif dalam lanskap bisnis Indonesia.
Lebih dari sekadar transaksi finansial, ini adalah cerminan visi jangka panjang, keberanian mengambil risiko, dan kepiawaian strategis yang membawa BCA dari ambang kebangkrutan pasca-krisis moneter menjadi bank swasta terbesar dan paling menguntungkan di Indonesia.
Tahun 2002 menjadi panggung bagi salah satu manuver bisnis paling monumental dalam sejarah Indonesia. Keluarga Hartono mengambil langkah berani yang mengubah jalannya industri perbankan. Akuisisi mayoritas saham BCA bukan sekadar transaksi finansial biasa. Ini adalah pertaruhan besar yang didasarkan pada strategi tanpa cela dalam menghadapi ketidakpastian.
Garis Waktu Riwayat BCA
Sempat menjadi Bank Pemerintah, BCA akhirnya menjadi bank swasta dengan kapitalisasi pasar terbesar saat ini. Jika ditelusuri Garis Waktu Riwayat BCA, pada 1955, NV Perseroan Dagang Dan Industrie Semarang Knitting Factory berdiri sebagai cikal bakal BCA hingga akhirnya mulai beroperasi pada pada 21 Februari 1957 dan berkantor pusat di Jakarta.
Efektif pada 2 September 1975, nama Bank diubah menjadi PT Bank Central Asia (BCA) dan berkembang menjadi Bank Devisa pada 1977.
Pada 1980an, BCA memperluas jaringan kantor cabang secara agresif sejalan dengan deregulasi sektor perbankan di Indonesia. BCA mengembangkan berbagai produk dan layanan maupun pengembangan teknologi informasi, dengan menerapkan online system untuk jaringan kantor cabang, dan meluncurkan Tabungan Hari Depan (Tahapan) BCA.
Namun, akhir tahun 1990-an adalah periode kelam bagi perekonomian Indonesia. Krisis moneter Asia 1997/1998 memorakporandakan banyak sektor, termasuk perbankan. Bank Central Asia (BCA), yang kala itu merupakan bagian dari Salim Group dan bank swasta terbesar, tidak luput dari dampak krisis.
Terlilit utang dan kredit macet, BCA akhirnya diambil alih oleh pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk diselamatkan.
BCA mengalami bank rush. Pada tahun 1998 BCA menjadi Bank Take Over (BTO) dan disertakan dalam program rekapitalisasi dan restrukturisasi yang dilaksanakan oleh BPPN.
Tahun 1999, Proses rekapitalisasi BCA selesai, dimana Pemerintah Indonesia melalui BPPN menguasai 92,8% saham BCA sebagai hasil pertukaran dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Dalam proses rekapitalisasi tersebut, kredit pihak terkait dipertukarkan dengan Obligasi Pemerintah.
Selanjutnya, pada 2000. BPPN melakukan divestasi 22,5% dari seluruh saham BCA melalui Penawaran Saham Publik Perdana (IPO), sehingga kepemilikan BPPN berkurang menjadi 70,3%. Pada 2001, Penawaran Publik Kedua (Secondary Public Offering) 10% dari total saham BCA. Kepemilikan
BPPN atas BCA berkurang menjadi 60,3%.
Dalam upaya memulihkan keuangan negara, BPPN kemudian menawarkan divestasi saham BCA. Pada saat itu, banyak pihak memandang sektor perbankan dengan skeptis, khawatir akan volatilitas dan risiko yang masih membayangi. Namun, di tengah ketidakpastian itu, keluarga Hartono, yang dikenal sebagai pemilik Grup Djarum – raksasa di industri rokok – melihat sebuah kesempatan emas.
Proses tender divestasi BCA oleh BPPN pada tahun 2002 berlangsung sangat kompetitif. Banyak investor domestik maupun asing tertarik pada aset sebesar BCA. Richard Borsuk dan Nancy Chng mencatat bahwa awalnya terdapat 15 calon pembeli dari berbagai belahan dunia yang bersaing untuk menguasai BCA.
Seiring berjalannya proses seleksi, jumlah kandidat tersebut menyusut hingga tersisa empat pihak utama: Standard Chartered Bank, perusahaan investasi asal Amerika Serikat, Farallon, Bank Mega, serta sebuah konsorsium Indonesia yang dipimpin oleh koperasi produsen batik.
Persaingan di antara mereka mencerminkan tingginya nilai strategis BCA di pasar perbankan Indonesia saat itu.
Tiga kandidat utama bersaing ketat dalam upaya menguasai saham BCA. Standard Chartered Bank memiliki keterkaitan dengan pemerintah Singapura, sementara Farallon adalah perusahaan patungan dimana pemilik terakhir adalah dana-dana yang diawasi oleh Farallon Capital Management LLC dan keluarga Hartono, pemilik Grup Djarum.
Di sisi lain, Bank Mega berada di bawah kepemilikan pengusaha Chairul Tanjung, menjadikannya salah satu pemain domestik dalam perebutan kepemilikan bank tersebut
Kemudian pada bulan April 2002 Pemerintah Republik Indonesia, melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), menjual sebagian besar kepemilikannya atas saham BCA kepada FarIndo Investments (Mauritius) Limited. Farindo Investment (Mauritius) Limited mengambil alih 51% total saham BCA melalui proses tender strategic private placement.
Hingga tahun 2015, FarIndo Investments (Mauritius) Ltd. adalah pemegang 47,15% saham sampai akhirnya di tahun 2016, PT Dwimuria Investama Andalan menjadi pemegang 47,15% saham Bank. Meski terdapat perubahan, namun Pemegang Saham Pengendali Terakhir (“PSPT”) Bank tidak berubah, yaitu Robert Budi Hartono dan Bambang Hartono.
Hingga tahun 2024, PT Dwimuria Investama Andalan masih memegang saham Bank BCA namun kepemilikannya meningkat menjadi 54,94%. Sebagai informasi tambahan, Robert Budi Hartono dan Bambang Hartono merupakan pemegang saham dari PT Dwimuria Investama yaitu masing-masing sebesar 51% dan 59%
Dampak dan Warisan
Kisah akuisisi BCA oleh keluarga Hartono adalah salah satu studi kasus paling sukses dalam sejarah korporasi Indonesia. BCA tidak hanya pulih dari krisis, tetapi juga tumbuh menjadi bank swasta terbesar di Indonesia, dengan kapitalisasi pasar dan keuntungan yang fantastis.
Kontribusi BCA terhadap perekonomian nasional sangat signifikan, mulai dari penyaluran kredit hingga penciptaan lapangan kerja.
Keberhasilan ini juga melambungkan nama keluarga Hartono sebagai salah satu keluarga terkaya di Indonesia, bahkan Asia.
Namun, lebih dari sekadar kekayaan, akuisisi BCA adalah bukti nyata dari visi jangka panjang, keberanian mengambil keputusan strategis di saat yang sulit, dan kemampuan untuk mengubah tantangan menjadi peluang besar. Ini adalah warisan yang terus menginspirasi dunia bisnis di Indonesia.