VINANSIA.COM - Dunia sekarang sudah tidak punya banyak rahasia. Bahkan ketika kita beli gorengan di pinggir jalan pakai QR code, itu pun bisa jadi bahan pertengkaran antarnegara. Di balik gesekan kartu dan tempelan QR itu, ada dua nama besar yang selalu nongol di belakang layar: Visa dan Mastercard.
Visa bukan lahir dari revolusi mahasiswa atau mimpi seorang penyair. Ia lahir dari meja-meja bank. Tahun 1958, Bank of America di California bikin kartu bernama BankAmericard. Gagal di sana-sini, tapi toh lambat laun mekar juga. Lalu datang seorang bernama Dee Hock—manajer bank dengan kepala penuh ide. Dia bilang, ini sistem jangan dikuasai satu bank. Harus dibikin federasi. Maka berdirilah Visa International tahun 1976. Sejak itu, dia bukan lagi milik satu bank, tapi punya dunia.
Sementara Mastercard adalah reaksi. Kumpulan bank-bank lain—yang iri tapi juga tak mau ketinggalan—bikin Interbank Card Association tahun 1966. Jadi semacam "perlawanan lembut". Mereka luncurkan Master Charge yang berubah jadi Mastercard. Bedanya dengan Visa? Yang satu lebih kayak republik, yang satu lagi lebih mirip kongsi dagang.
Lama-lama, dua-duanya jadi seperti dewa: tidak terlihat tapi kuasanya terasa. Mereka bukan bank. Mereka tidak memberi pinjaman. Tapi tiap kita belanja, mereka pungut bayaran. Bahkan di negara yang mereka tidak tahu ibu kotanya.
Tahun 2023, Visa meraup lebih dari USD 32 miliar. Mastercard nyaris USD 25 miliar. Laba bersih Visa: USD 17 miliar. Mastercard: USD 11 miliar. Laba segede itu, dari mana? Dari tiap tap, gesek, dan swipe yang kita lakukan.
Tapi dunia mulai berubah. Banyak negara mulai gelisah. Kok semuanya harus lewat AS? Kok data keuangan warga dikendalikan pihak luar?
India bikin RuPay. Bukan hanya buat jaga-jaga, tapi juga sebagai perisai ekonomi. RuPay sekarang diwajibkan untuk semua transaksi pemerintah.
Tiongkok punya UnionPay, yang sekarang sudah bisa dipakai di lebih dari 180 negara. Bahkan mulai masuk ke Afrika dan Timur Tengah.
Rusia bikin Mir, sejak sanksi Barat bikin Visa dan Mastercard hengkang. Sekarang, semua transaksi domestik pakai Mir.
Brazil tidak mau ketinggalan, mereka punya ELO. Turki bikin Troy. Dan Indonesia? Kita punya GPN dan QRIS. Dua alat buat membangun jalan sendiri di tengah hutan rimba global.
QRIS bikin semua QR code bisa dibaca satu sama lain. GPN bikin transaksi kartu domestik tak harus lewat server luar negeri. Ini bukan cuma efisiensi. Ini pernyataan politik.
Negara-negara ini sedang belajar satu hal: uang bukan cuma alat tukar. Ia adalah kedaulatan. Dan kedaulatan tidak boleh diserahkan begitu saja pada dua perusahaan yang bahkan tidak tahu nama Menteri Keuangan kita.
Sekarang, yang sedang kita tonton bukan cuma perlombaan teknologi. Tapi juga pertarungan siapa yang pegang gerbang: dewa-dewa lama dari Barat, atau pemilik baru yang sedang membangun kuilnya sendiri.