Utang Dalam Negeri Indonesia, Antara Kebutuhan dan Risiko

Utang Dalam Negeri Indonesia, Antara Kebutuhan dan Risiko
Utang Dalam Negeri Indonesia: Antara Kebutuhan dan Risiko

VINANSIA.COM - Pemerintah Indonesia kembali menawarkan Surat Berharga Negara (SBN) melalui instrumen investasi syariah dalam bentuk Sukuk Ritel SR022, terdiri dari dua seri: SR022T3 dengan tenor 3 tahun dan kupon 6,45% per tahun, serta SR022T5 dengan tenor 5 tahun dan kupon 6,55% per tahun. SR022T3 memiliki kuota awal sebesar Rp15 triliun, sedangkan SR022T5 memiliki kuota awal Rp5 triliun. Periode pembelian sukuk ini berlangsung dari 16 Mei 2025 hingga 16 Juni 2025.

Dalam memorandum informasi, dana yang diperoleh dari penerbitan sukuk ini akan digunakan untuk membiayai APBN, termasuk pembiayaan proyek dalam APBN tahun anggaran 2025. Namun, tidak dijelaskan secara spesifik proyek atau biaya APBN mana yang akan dibiayai oleh kedua sukuk tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah terus membiayai APBN dengan utang.

Berbicara tentang utang negara, hal ini selalu menjadi topik yang menarik dan kontroversial. Di satu sisi, utang diperlukan untuk membiayai pembangunan dan menjaga stabilitas ekonomi. Namun, di sisi lain, jika tidak dikelola dengan baik, utang bisa menjadi beban yang menghambat pertumbuhan ekonomi.

Pada tahun 2025, pemerintah berencana menerbitkan delapan seri SBN, yaitu Obligasi Negara Ritel (ORI), Sukuk Ritel (SR), Sukuk Tabungan (ST), Saving Bond Ritel (SBR), dan Sukuk Wakaf Ritel (SWR).

Saat ini, Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa kondisi fiskal berada dalam posisi terkendali, dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2025 diperkirakan berkisar antara 38% hingga 39%. Angka ini jauh di bawah batas maksimal 60% yang ditetapkan oleh Undang-Undang Keuangan Negara No. 17 Tahun 2003. 

Namun, pertanyaannya adalah: apakah rasio tersebut benar-benar mencerminkan kondisi keuangan negara yang sehat? Ataukah ini sekadar ilusi stabilitas fiskal di tengah tekanan utang yang semakin membesar secara nominal.

Menurut APBN KiTa Mei 2025 dari Kementerian Keuangan RI, utang pemerintah Indonesia per Maret 2025 tercatat mencapai Rp8.300 triliun, sementara proyeksi PDB nominal tahun ini mendekati Rp21.500 triliun. Maka, secara matematis, rasio utang terhadap PDB adalah 38,6%.

Secara permukaan, rasio ini tampak aman. Bandingkan dengan negara maju seperti Jepang (266%) atau AS (123%) menurut data IMF (2024). Namun, membandingkan rasio utang Indonesia dengan negara maju bisa menyesatkan, karena kemampuan membayar utang mereka jauh lebih tinggi, didukung kekuatan ekonomi domestik dan mata uang global.

Apa yang Tidak Terlihat dari Angka

Rasio Utang Rendah ? Beban Utang Ringan

Meskipun rasio terhadap PDB tampak rendah, beban bunga utang yang harus dibayar Indonesia terus meningkat. Dalam APBN 2025, pembayaran bunga utang dipatok mencapai Rp535 triliun, atau sekitar 15% dari total belanja negara. Ini menandakan beban fiskal yang cukup berat meski rasio terlihat aman.

PDB sebagai Denominator yang Menipu

PDB bisa meningkat karena faktor inflasi, bukan karena pertumbuhan ekonomi riil. Artinya, rasio utang bisa tampak turun hanya karena nilai rupiah membesar secara nominal, padahal utang tetap tinggi. Ini menciptakan false sense of security.

Komposisi Utang yang Rentan terhadap Gejolak Global

Sekitar 15% dari total Surat Berharga Negara (SBN) masih dimiliki asing (data Bank Indonesia, 2025). Ketika investor global panik atau ketika suku bunga The Fed naik, risiko capital outflow akan menekan nilai tukar rupiah, membuat pembayaran utang valas menjadi lebih mahal dan memicu tekanan fiskal baru.

Apakah Utang Itu Buruk? Tidak Selalu.

Utang bisa sangat produktif jika digunakan untuk membangun infrastruktur yang mendorong pertumbuhan ekonomi (jalan, pelabuhan, digitalisasi), membiayai pendidikan dan kesehatan untuk meningkatkan kualitas SDM, dan mengembangkan industri strategis yang memberi nilai tambah dan lapangan kerja. 

Namun, utang menjadi tidak produktif jika digunakan hanya untuk menutup defisit tanpa arah pembangunan jangka panjang, terjebak pada belanja rutin (gaji pegawai, subsidi konsumtif) tanpa hasil nyata, dan tidak dikontrol dengan akuntabilitas serta transparansi.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah utang ini benar-benar membawa dampak yang sebanding dengan biaya dan risikonya? Dalam dosis yang sehat dan penggunaan yang tepat, utang bisa menjadi alat untuk mempercepat pembangunan. 

Namun, jika salah urus, utang bisa menjadi bom waktu yang menyandera masa depan kita.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index