VINANSIA.COM - Michael Bloomberg bukan tipe orang yang suka menyalakan sirine di tengah pasar, apalagi jika hanya untuk menggoda publik. Mantan wali kota New York itu pernah menyumbang miliaran dolar ke universitas, ikut kampanye perubahan iklim, dan bahkan maju nyapres.
Tapi kali ini, yang diomongin bukan pencemaran udara atau pilpres Amerika. Bloomberg bicara soal utang. Tepatnya, utang pemerintah Amerika Serikat yang menurut dia, “bisa bikin sistem keuangan global kolaps.”
Perlu dicatat, ini bukan ucapan dari mantan aktivis anti-imperialis, bukan pula tweet emosional dari ekonom yang tidak kebagian jabatan.
Ini komentar dari orang yang pernah duduk di puncak dunia keuangan. Maka ketika Bloomberg bicara, Wall Street mendengarkan. Dunia juga ikut pasang kuping.
Utang nasional Amerika kini sudah menembus angka US$ 34,5 triliun. Kalau dibagi rata, tiap warga AS—mulai dari bayi merah sampai manula yang sudah uzur—menanggung sekitar US$ 103 ribu. Dan angka ini tumbuh seperti tanaman liar yang disiram pupuk kimia.
Tahun lalu, hanya butuh tiga bulan untuk naik dari US$ 33 ke US$ 34 triliun. Prediksi tahun ini: utang melonjak US$ 2 triliun lagi, sebagian besar untuk membayar bunga utang lama.
Bunga utang pemerintah AS saja kini sudah lebih besar dari anggaran militer mereka—sekitar US$ 870 miliar per tahun. Tahun depan, ia akan menyalip jatah Medicare. Sebentar lagi, akan melampaui semuanya.
Dalam dua tahun ke depan, pembayaran bunga diprediksi jadi pos terbesar dalam APBN Amerika. Satu-satunya “kementerian” yang tidak bisa diutak-atik karena dikelola oleh waktu dan kalkulator.
Bloomberg menyebut utang ini sebagai “bom waktu fiskal” yang dibiarkan berdetik tanpa upaya serius untuk menjinakkan. “Tak ada yang mau bicara soal ini,” katanya. “Karena solusinya tak enak.”
Ia menyindir dua partai besar yang lebih sibuk bersilat lidah soal perang budaya, TikTok, dan imigrasi, daripada duduk bareng membahas defisit anggaran.
Tentu, tak semua orang melihat ini sebagai bencana. Ada yang bilang, utang Amerika tidak seperti utang negara berkembang. Mereka berutang pakai mata uang sendiri. Kalau perlu, tinggal cetak dolar. Lagipula, pasar global masih doyan membeli surat utang Amerika.
Obligasi AS masih dianggap paling aman sejagat. Di tengah dunia yang dipenuhi ketidakpastian, Treasury Bond ibarat tumpukan kasur empuk yang tak pernah roboh.
Tapi argumen itu mulai retak. Negara-negara seperti China, Jepang, dan Arab Saudi—selama ini langganan pembeli utang AS—pelan-pelan mulai menjauh. Mereka mengurangi kepemilikan obligasi AS dan menumpuk emas atau beralih ke mata uang lain. Cina, misalnya, sudah menjual lebih dari US$ 500 miliar Treasury sejak 2013. Tren ini disebut “de-dollarization.”
Lalu siapa yang beli utang Amerika sekarang? Jawabnya: Federal Reserve dan investor domestik. Artinya, AS meminjam dari dirinya sendiri. Model semacam ini bisa bertahan, sampai tidak bisa. Dan bila pilar kepercayaan runtuh, dampaknya bukan hanya untuk AS. Karena ketika dolar goyah, dunia pun ikut menggigil.
Ada satu pelajaran menarik dari sejarah: negara yang terlalu percaya diri dengan statusnya sering lupa bahwa kekuasaan itu punya masa kadaluarsa. Inggris pernah menguasai seperempat dunia.
Kekaisaran Spanyol pernah menjelajah hingga Pasifik. Dan semua itu bubar bukan karena kalah perang besar, tapi karena beban keuangan yang tidak tertanggulangi.
Hari ini, Amerika masih memegang kartu As: ekonomi terbesar, mata uang cadangan global, dan militer terkuat. Tapi kartu-kartu itu bisa jadi tidak berguna kalau kepercayaan hilang.
Jika investor global mulai meragukan kemampuan AS membayar utangnya, maka efeknya akan menjalar ke mana-mana: suku bunga melonjak, nilai tukar dolar terguncang, inflasi naik, dan pasar modal bergejolak.
Dan jangan lupa: dunia ini sudah terlalu bergantung pada utang dolar. Sekitar 60% utang global diterbitkan dalam dolar. Negara berkembang yang meminjam dalam dolar akan kena getah duluan.
Kurs mereka jeblok, biaya impor naik, utang luar negeri membengkak. Krisis yang berawal dari Washington bisa menjalar ke semua Negara di Dunia.
Solusi? Tidak ada yang mudah. Memotong pengeluaran bisa memicu demo. Naikkan pajak, pemilih kabur. Bahkan Joe Biden dan Donald Trump sama-sama tidak mau sentuh isu ini.
Keduanya malah berlomba jorjoran subsidi dan stimulus. Satu bilang ingin bangun infrastruktur. Satu lagi janji turunkan pajak.
Tak ada yang bicara soal pengendalian utang. “Politisi hanya tertarik pada solusi yang tidak menyakitkan, sayangnya itu tidak ada,” kata Bloomberg.
Situasi ini seperti sopir truk yang sudah tahu rem blong, tapi tetap ngebut karena takut dikejar waktu. Ia hanya berharap jalanan tetap datar. Tapi dunia ini bukan Kansas. Ada tanjakan, tikungan, dan jurang yang datang tiba-tiba.
Mungkin inilah ironi dari dunia modern. Negara yang mencetak dolar, mengatur pasar global, dan menetapkan standar keuangan dunia—ternyata tidak becus mengelola dompetnya sendiri.
Dan kalau akhirnya gelembung ini meledak, bukan hanya Washington yang berantakan. Dunia pun ikut guncang.
Bloomberg menyebut ini sebagai “krisis yang tak terlihat.” Tapi justru karena tak terlihat, ia lebih berbahaya. Seperti tekanan darah tinggi yang tak terasa sampai pecah pembuluh.
Dunia sudah lama memandang dolar sebagai dewa penyelamat. Tapi jangan-jangan, yang selama ini menyelamatkan dunia itulah yang sedang menanam benih bencana.