CEO Goldman Sachs Mulai Cemas Kondisi Ekonomi Global

CEO Goldman Sachs Mulai Cemas Kondisi Ekonomi Global
CEO Goldman Sachs, David Solomon

VINANSIA.COM - Goldman Sachs baru saja lapor: kuartal pertama tahun ini cuan. Laba bersih naik 15 persen. Saham ikut terkerek. Kantor pusat mereka di Manhattan mungkin sedang sibuk memesan kue tar bertuliskan “Wall Street Masih Punya Harapan.”

Tapi di tengah pesta kecil itu, sang CEO, David Solomon, justru tampil seperti bapak kos yang baru tahu kulkas rumah jebol: wajah tenang, tapi isi kepala penuh waswas.

Ia bilang, dunia sedang mengarah pada “material risks.” Ancaman besar. Salah satu penyebab utamanya adalah perang dagang yang kembali dipanaskan oleh Presiden Trump—presiden yang kalau main catur, bidak lawan bisa disapu tangan lalu diklaim “menang strategi.”

Trump baru saja memperkenalkan Liberation Day Tariffs—sebuah nama yang terdengar seperti perayaan kemerdekaan, tapi isinya daftar bea masuk yang bikin banyak perusahaan tercekik. Pasar saham pun refleks: muntah. Investor diam. Banyak merger dan IPO yang sebelumnya tinggal satu langkah, mendadak seperti anak magang: disuruh tunggu, belum tentu dipakai.

Solomon melihat ini dan tidak bisa diam. Ia tahu persis: dunia keuangan itu tidak tahan dengan ketidakpastian. Modal besar hanya mau bermain kalau lampu jalan terang. Tapi sekarang, yang ada hanya kabut. Maka para CEO dan pemodal besar lebih memilih menunggu. Membatalkan perjanjian. Menunda ekspansi. Menyimpan uang di tempat aman, sambil menyalakan lilin harapan.

Sementara itu, Goldman sendiri masih untung. Pendapatan dari trading saham naik 27 persen. Tapi bisnis konsultasi M&A mereka jeblok 22 persen. Artinya: perusahaan-perusahaan masih ngobrol soal kawin-mawin, tapi belum ada yang berani melamar. Terlalu banyak risiko. Terlalu banyak ucapan “nanti dulu, kita lihat situasi.”

Begitulah dunia saat ini. Secara teknis belum krisis, tapi baunya sudah mulai terasa. Seperti hujan besar yang belum turun, tapi anginnya sudah bikin jemuran terbang.

Goldman bahkan sudah menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi AS dari 2 persen ke 0,5 persen. Itu bukan revisi, itu setengah menyerah. Dan bukan cuma Goldman yang gelisah. Jamie Dimon dari JPMorgan juga sudah bicara soal “turbulensi besar.” Dua bank raksasa ini bukan sedang mengeluh, mereka sedang memberi kode: hati-hati.

Tapi politik jalan terus. Pemerintah tetap sibuk memberi nama-nama indah untuk tarif impor, seolah-olah itu hadiah ulang tahun. Pasar tetap dipaksa percaya bahwa semuanya terkendali, walaupun indikator ekonomi mulai seperti pasien demam tinggi—angka naik turun, tapi dokter hanya senyum.

Di ujung pernyataannya, Solomon bilang: mereka tetap siap mendukung klien. Kalimat diplomatis yang artinya: semoga badai ini tidak bikin kita ikut tenggelam.

Dan kita semua, yang tidak punya saham di Goldman, tidak ikut merger apa pun, tetap harus bersiap. Karena kalau kapal besar mulai goyah, ombaknya bisa nyiprat sampai ke perahu kecil.

Sementara itu, di warung kopi pinggir jalan, orang-orang masih berdiskusi soal harga cabe, cicilan motor, dan sinetron yang tayangnya kepanjangan. Dunia mungkin sedang gelisah, tapi di sini, yang penting masih bisa ngopi. Untuk sekarang.

#ekonomi syariah

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index