VINANSIA.COM - Indonesia akhirnya masuk ke New Development Bank (NDB). Bank milik BRICS ini awalnya hanya terdiri dari lima negara: Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Lalu, satu per satu anggota baru berdatangan: Bangladesh, UEA, Mesir. Sekarang, Indonesia ikut dalam antrean.
Pertanyaannya, Indonesia dapat apa?
BRICS dan NDB: Sekadar Alternatif atau Kompetitor?
Selama ini, dunia keuangan dikuasai oleh Bank Dunia dan IMF. Kalau butuh uang, harus lewat mereka. Tapi dua lembaga itu terkenal dengan syarat pinjaman yang bikin kepala pening: reformasi ini, restrukturisasi itu.
Lalu lahirlah BRICS, yang ingin punya bank sendiri. Tujuannya? Membantu negara berkembang tanpa terlalu banyak syarat politik. Modal awalnya US$ 100 miliar, dengan modal disetor US$ 50 miliar. Lima pendiri masing-masing menyetor US$ 10 miliar.
Negara baru seperti Bangladesh, Mesir, dan UEA masuk belakangan dengan saham lebih kecil. Sekarang, giliran Indonesia.
Manfaat untuk Indonesia?
Pinjaman Infrastruktur
NDB suka membiayai jalan tol, listrik, pelabuhan. Indonesia yang doyan bangun cocok dengan pola ini.
Alternatif Pendanaan
Tak perlu selalu ke Bank Dunia atau China Development Bank. NDB bisa jadi opsi baru.
Fleksibilitas Lebih Besar
Tak seperti IMF yang suka menyuruh reformasi ini-itu, NDB lebih longgar.
Jaringan BRICS
Masuk NDB = lebih dekat dengan ekonomi BRICS. Siapa tahu, perdagangan dan investasi bisa meningkat.
Tanpa Hak Veto
Di Bank Dunia, AS dan Eropa dominan. Di NDB, tak ada hak veto. Setidaknya, lebih adil.
Tapi, Apa Risikonya?
Setoran Modal Besar
Indonesia harus menyetor modal cukup banyak. Worth it? Itu yang masih harus dihitung.
Tetap Berutang
Ini bukan dana hibah. Tetap harus dikembalikan, plus bunga.
Kendali Tetap di BRICS
Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan tetap mayoritas. Indonesia? Pemain baru.
Efek Jangka Panjang
Keuntungan tak langsung terasa. Bisa 10–20 tahun ke depan. Sabar dulu.
Jadi, Masuk NDB: Langkah Cerdas atau Beban Baru?
Bergabung dengan NDB bisa jadi peluang besar atau sekadar tambahan utang baru. Semua tergantung bagaimana Indonesia memanfaatkannya.
Jika digunakan dengan bijak, ini bisa jadi jalur baru untuk membangun infrastruktur tanpa terlalu bergantung pada Barat. Tapi kalau cuma numpang nama tanpa strategi jelas? Ya cuma jadi anggota tanpa pengaruh.
Pilihan di tangan pemerintah. Mau aktif memanfaatkan atau sekadar ikut-ikutan?