Profil Eratani, Antara Sawah dan Startup

Profil Eratani, Antara Sawah dan Startup
Eratani: Antara Sawah dan Startup

VINANSIA.COM - Di tengah gegap gempita dunia startup yang kian muram—yang lebih banyak tutup daripada tumbuh—hadir satu nama yang cukup mencuri perhatian: Eratani. Startup pertanian ini baru saja meraih pendanaan seri A senilai US$ 6,2 juta atau sekitar Rp 105 miliar

Uangnya dari Singapura, dari investor yang konon punya pandangan jauh ke depan. Bukan cuma Clay Capital, tapi juga TNB Aura, SBI Ven Capital, AgFunder, Genting Ventures, dan IIX. Nama-nama yang lebih akrab di telinga pemilik jas dan presentasi PowerPoint, daripada pemilik sawah dan parang.

Eratani bukan pemain lama. Mereka berdiri pada 2021. Belum genap lima tahun. Tapi dalam waktu singkat, mereka mengklaim telah menggandeng lebih dari 34 ribu petani di Jawa dan Sulawesi. 

Produksi gabah dan beras mencapai 112.000 ton. Pendapatan petani, katanya, naik hingga 25%. Hasil panen, naik 29%. Angka yang manis, nyaris seperti testimoni di brosur MLM.

Co-founder sekaligus CEO-nya, Andrew Soeherman, tampil dengan bahasa yang rapi dan bernarasi besar. “Kami membuktikan bahwa dampak ekonomi dan sosial dapat berjalan beriringan dengan keberlanjutan lingkungan.” 

Kalimat yang terdengar seperti abstrak disertasi. Tapi ya sudah, mari kita terima sebagai semangat baik. Lebih bagus dibanding para pejabat yang suka menjanjikan ketahanan pangan tapi lupa musim tanam kapan mulai.

Andrew bilang mereka tidak mau ekspansi cepat. Mereka fokus pada “pembangunan fondasi yang kokoh.” Ini pernyataan yang patut dicatat. Di tengah dunia startup yang sering lebih sibuk cari valuasi ketimbang validasi, niat membangun fondasi adalah langkah yang jarang. 

Tapi, lagi-lagi, fondasi yang kokoh bukan cuma dibangun dari rencana strategis. Ia dibentuk oleh kesabaran menghadapi realitas lapangan yang tak selalu ramah.

Sebab mengubah pertanian Indonesia bukan perkara algoritma. Pertanian kita bukan hanya soal pupuk dan harga gabah. Ia soal musim yang makin tak menentu, rantai pasok yang tidak adil, tengkulak yang masih kuat, dan sistem distribusi yang sejak zaman kolonial tidak banyak berubah. 

Eratani boleh saja menyodorkan mekanisasi modern. Tapi selama akses terhadap pupuk masih dikendalikan elite lokal, dan harga gabah tetap ditekan di musim panen, maka teknologi itu hanya jadi pelengkap penderitaan.

Mari kita jujur: startup pertanian sebelumnya banyak yang lahir dari niat mulia tapi gagal di lapangan. Ada yang terlalu cepat bakar uang. Ada yang hanya kuat di presentasi, tapi lemah di panen. 

Ada pula yang hanya menjadi perantara baru antara petani dan pasar—dengan skema yang tak jauh beda dari tengkulak lama. Kalau Eratani ingin berbeda, ia harus benar-benar hadir di sawah, bukan hanya di ruang rapat dan laporan investor.

Co-founder lain, Bambang Cahyo Susilo, menyebut mereka mengandalkan data untuk membantu pengambilan keputusan. Ini menarik. Tapi data seperti apa? Apakah petani diajari membaca data itu? Apakah kebijakan tanam dan panen dibuat bersama petani atau hanya dikirim lewat aplikasi? 

Pengalaman menunjukkan: data pertanian yang tidak diolah bersama petani, hanya akan menjadi angka-angka keren di atas kertas.

Salah satu yang patut diapresiasi dari Eratani adalah keberaniannya masuk ke sektor yang sering dianggap “tidak seksi” oleh banyak startup. Mereka juga tampaknya punya visi jangka panjang, tidak terburu-buru menjadikan petani sebagai “komoditas digital”. 

Tapi sekaligus perlu dicatat, keberlanjutan yang mereka janjikan harus dimaknai lebih dari sekadar “green branding”. Keberlanjutan itu juga soal memperkuat posisi tawar petani di hadapan pasar. Apakah petani bisa menentukan harga? Apakah mereka tidak hanya jadi obyek?

Gerard Chia dari Clay Capital menyebut Eratani sebagai aktor penting dalam membentuk ekosistem pertanian berkelanjutan dan terintegrasi. Ia bahkan menyebut Eratani bisa membuka peluang di pasar karbon. Menarik sekali. Tapi juga berbahaya jika tidak hati-hati. 

Sebab pasar karbon adalah pasar baru yang sangat spekulatif. Bila tidak disiapkan dengan matang, petani bisa saja hanya menjadi objek “penghijauan” yang dijual untuk menutup dosa-dosa industri di belahan dunia lain.

Kritik bukan untuk menjatuhkan, tapi justru agar startup seperti Eratani bisa menyiapkan diri lebih baik. Indonesia memang butuh aktor baru yang bisa menjembatani dunia pertanian tradisional dengan teknologi modern. Tapi jembatan itu harus dibangun dari kepercayaan dan pemahaman lokal. Bukan sekadar dari modal asing dan jargon-jargon global.

Pada akhirnya, apakah Eratani akan sukses atau tidak, tergantung satu hal: apakah mereka sungguh-sungguh berpihak pada petani, atau hanya menjadikan petani sebagai “cerita sukses” di pitch deck. 

Kalau mereka benar-benar hadir saat musim gagal tanam, saat harga jatuh, dan saat petani kehilangan harapan—barulah kita bisa bilang: ini startup yang bukan cuma datang membawa janji, tapi juga membawa perubahan.

Dan kita masih menunggu itu. Dengan hati-hati. Sambil tetap mencangkul.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index