VINANSIA.COM - Sebagian orang membangun rumah. Sebagian lagi membangun gedung. Tapi hanya segelintir yang membangun kota. Hendro S. Gondokusumo adalah salah satunya.
Jakarta mengenalnya. Surabaya mengingatnya. Gedung-gedung yang ia bangun bukan sekadar tempat tinggal atau kantor. Mereka adalah bagian dari sejarah kota, bagian dari kehidupan banyak orang.
Kini, arsitek kota itu telah pergi. Tapi jejaknya tetap ada. Di sudut-sudut jalan, di deretan perumahan elite, di gedung-gedung pencakar langit. Dan, tentu saja, di hati mereka yang pernah bekerja dengannya.
Dari Hasil Bumi ke Beton dan Kaca
Hendro lahir di Malang, 6 September 1950. Anak ketiga dari delapan bersaudara. Ayahnya pedagang hasil bumi. Dalam keluarga seperti itu, pilihan hidupnya seharusnya sudah jelas: meneruskan usaha keluarga. Berdagang cengkeh, kopi, rempah-rempah. Tapi ia memilih jalannya sendiri.
Jakarta memanggilnya. Saat remaja, ia ikut ayah dan pamannya ke ibu kota. Dagang hasil bumi. Tapi ia tidak jatuh cinta pada aroma kopi atau rempah. Ia justru terpesona pada bangunan-bangunan tua, gedung-gedung berarsitektur kolonial yang berdiri kokoh di tengah kota. Dari sanalah segalanya dimulai.
"Bukan dagang yang saya cari, tapi membangun," katanya suatu kali.
Ia menemukan dunianya di properti. Bukan karena tren. Bukan karena cepat untung. Tapi karena keyakinan bahwa properti adalah fondasi kehidupan. Manusia butuh tempat tinggal, tempat bekerja, tempat berinteraksi. Dan Hendro ingin menjadi bagian dari itu.
Intiland: Dari Perumahan ke Superblok
Perjalanannya di industri properti dimulai di era 1970-an. Ia membangun perumahan pertama di Jakarta Selatan: Cilandak Garden Housing. Lalu Taman Harapan Indah di Jakarta Barat. Surabaya tak ketinggalan. Kota Satelit Darmo lahir dari tangannya.
Saat itu, membangun properti bukan sekadar soal uang. Itu soal keberanian. Membeli tanah di pinggiran, membangun perumahan saat pasar belum yakin, memulai proyek saat yang lain masih ragu-ragu.
Ia tak pernah ragu.
Di era 1980-an, ia mulai merambah proyek besar. Pantai Mutiara, hunian elite di tepi pantai Jakarta. Intiland Tower, kantor modern yang menjadi ikon. Lalu datanglah tahun 1990. Intiland masuk bursa. Itu tonggak penting. Sebuah pengakuan bahwa Hendro tak lagi sekadar pengembang perumahan. Ia arsitek kota.
Di Surabaya, ia membangun Graha Famili, kawasan elite dengan golf course 18-hole di atas lahan 280 hektar. Kemewahan di tengah kota. Di Jakarta, ia melahirkan Regatta, kondominium mewah dengan desain dari Tom Wright, arsitek Burj Al Arab.
Semua proyeknya punya karakter. Ia tak sekadar membangun gedung, tapi menciptakan landmark. Sesuatu yang ikonik. Yang tak lekang waktu.
Badai 1997: Bertahan Tanpa Korban
Lalu datanglah krisis. Tahun 1997.
Semua orang tahu. Itu tahun di mana banyak perusahaan properti tumbang. Kredit macet. Proyek mangkrak. Karyawan dipecat. Bank menarik utang.
Tapi Hendro punya prinsip.
Ia memilih bertahan tanpa mem-PHK karyawan. Ia menunda proyek, tapi tidak menghentikan. Ia menata ulang keuangan, tapi tidak melepas tanggung jawab. Satu per satu masalah ia atasi, satu per satu proyek ia lanjutkan. Hingga akhirnya, badai berlalu.
Dan ia masih berdiri.
2010: Ekspansi dan Inovasi
Lepas dari krisis, Intiland bangkit. Ia tidak hanya kembali membangun perumahan dan apartemen, tapi juga masuk ke sektor hospitality. Hadirlah Intiwhiz International, jaringan hotel dengan merek Whiz dan Grand Whiz.
Ia juga membawa Intiland ke level berikutnya. South Quarter, kawasan perkantoran terpadu. Fifty Seven Promenade, apartemen mewah di pusat kota. Serenia Hills, perumahan eksklusif di Jakarta Selatan.
Di Surabaya, ia membangun Spazio dan Graha Golf.
Ia tak pernah berhenti berinovasi. Saat yang lain bermain aman, ia melangkah lebih jauh.
2020: Pandemi dan Ketahanan
Lalu datang pandemi. Dunia terhenti. Daya beli anjlok. Industri properti babak belur.
Tapi Hendro sekali lagi membuktikan ketangguhannya. Ia tidak mundur. Proyek terus berjalan. SQ Rés dan Fifty Seven Promenade tetap rampung di tengah pandemi.
Ia selalu percaya, krisis hanyalah bagian dari perjalanan. Yang penting bukan menghindarinya, tapi melewatinya dengan kepala tegak.
Lebih dari Sekadar Properti
Hendro tidak hanya membangun gedung. Ia juga membangun komunitas. Ia aktif di Kadin. Di Asosiasi Pengusaha Lapangan Golf. Di Real Estat Indonesia.
Ia bukan tipe pengusaha yang hanya duduk di belakang meja. Ia turun ke lapangan. Berdiskusi dengan tim. Mendengar masukan.
Ia tahu, bisnis properti bukan hanya soal angka di laporan keuangan. Itu soal membangun sesuatu yang nyata. Sesuatu yang berdampak.
Kini Ia Pergi
Hendro S. Gondokusumo telah pergi. Tapi warisannya tetap ada.
Gedung-gedung yang ia bangun akan terus berdiri. Kota-kota yang ia rancang akan terus berkembang.
Ia tak hanya meninggalkan properti. Ia meninggalkan cara berpikir. Bahwa membangun bukan sekadar soal beton dan kaca. Tapi juga soal visi.
Ia pernah mengutip Dalai Lama:
"Jagalah pikiranmu karena akan jadi perkataanmu. Jagalah perkataanmu karena akan menjadi perbuatanmu. Jagalah perbuatanmu karena akan menjadi kebiasaanmu. Jagalah kebiasaanmu karena akan membentuk karaktermu. Jagalah karaktermu karena akan membentuk nasibmu."
Hendro telah membentuk nasibnya sendiri. Dengan bangunan. Dengan keyakinan. Dengan keteguhan.
Selamat jalan, Pak Hendro.
Terima kasih atas kota-kota yang Anda bangun.