VINANSIA.COM - Industri gula Indonesia bukan sekadar soal manis dan pahit. Ia adalah bisnis yang kompleks, melibatkan rantai pasok panjang, regulasi ketat, dan kepentingan banyak pihak. Di tengah dinamika ini, ada satu nama yang selalu muncul: Wilmar Sugar.
Sebagai bagian dari Wilmar International, Wilmar Sugar bukan hanya produsen tetapi juga pedagang, pemilik pabrik, hingga pengendali distribusi. Gula bukan satu-satunya komoditasnya, tapi ia menjadi bagian penting dalam strategi besar Wilmar untuk menguasai industri agribisnis global.
Di Indonesia, Wilmar dikenal sebagai raja minyak sawit. Tapi di industri gula, perannya tak kalah besar. Pabrik-pabrik rafinasinya mendominasi pasar, sementara lahan konsesi tebunya di Papua adalah yang terbesar di negeri ini.
Namun, ekspansi Wilmar di sektor gula tak selalu berjalan mulus. Dari persoalan regulasi hingga keberatan masyarakat adat, perjalanan Wilmar di industri ini penuh dengan tantangan.
Dari Sawit ke Gula: Wilmar dan Strategi Besar
Wilmar International didirikan pada 1991 oleh Martua Sitorus, pengusaha asal Sumatera Utara, dan Kuok Khoon Hong, keponakan taipan Malaysia Robert Kuok. Awalnya berfokus pada minyak sawit, Wilmar tumbuh menjadi konglomerasi agribisnis dengan lebih dari 500 fasilitas produksi di 50 negara.
Namun, peluang di industri gula tak bisa diabaikan. Wilmar masuk ke sektor ini dengan pendekatan yang sama seperti di sawit: menguasai rantai pasok dari hulu ke hilir. Mereka tidak hanya memproduksi gula, tetapi juga berdagang, mengendalikan pabrik, dan membangun jaringan distribusi global.
Sejumlah akuisisi besar memperkuat posisi Wilmar di pasar gula dunia:
- Sucrogen Limited (Australia) – Produsen gula terbesar di Australia.
- Shree Renuka Sugars (India) – Pemain utama di India.
- Cosumar SA (Maroko) – Penguasa pasar Afrika Utara.
- Great Wall Food Stuff (Myanmar) – Memperkuat posisi di Asia Tenggara.
- Windsor & Brook Trading (Singapura) – Mengendalikan perdagangan gula global.
Dengan akuisisi ini, Wilmar tak sekadar produsen. Ia bisa mengatur harga, mengontrol pasokan, dan menentukan ke mana gula harus mengalir.
Wilmar di Indonesia: Rafinasi dan Perkebunan Tebu
Indonesia adalah pasar yang menggiurkan. Konsumsi gulanya tinggi, industrinya besar, tapi produksi dalam negerinya belum cukup.
1. Pabrik Rafinasi: Memproses Gula Impor untuk Industri
Wilmar memiliki beberapa pabrik gula rafinasi terbesar di Indonesia, di antaranya:
- PT Jawamanis Rafinasi
- PT Duta Sugar International
Menurut laporan dari EcoNusa, pabrik-pabrik ini mengolah gula mentah impor dari Brasil, Thailand, dan Australia menjadi gula rafinasi yang digunakan oleh industri makanan dan minuman.
Dari segi efisiensi, model bisnis ini menguntungkan. Gula mentah impor lebih murah dan kualitasnya lebih stabil dibandingkan tebu lokal. Namun, di sisi lain, kebijakan ini menimbulkan dilema.
Petani tebu dalam negeri sulit bersaing. Industri rafinasi lebih memilih impor daripada membeli gula lokal, yang harganya lebih tinggi dan pasokannya kurang stabil. Akibatnya, meskipun produksi gula dalam negeri terus didorong, industri makanan dan minuman tetap bergantung pada impor.
Regulasi pemerintah sering kali mencoba menyeimbangkan kepentingan ini. Kadang impor diperketat untuk melindungi petani, kadang dilonggarkan demi menjaga stabilitas industri. Tapi satu hal yang pasti: Wilmar selalu menjadi bagian dari perdebatan ini.
2. Perkebunan Tebu di Papua: Ambisi yang Belum Terwujud
Selain menjadi pemain besar di industri rafinasi, Wilmar juga mencoba masuk ke sektor produksi gula dalam negeri.
Berdasarkan laporan dari EcoNusa, Wilmar memiliki konsesi lahan tebu seluas 171.947 hektare di Papua, menjadikannya pemegang konsesi terbesar di Indonesia.
Wilmar awalnya berencana menjadikan Papua sebagai pusat produksi gula nasional, sebagai bagian dari proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Namun, realitas di lapangan lebih rumit dari rencana di atas kertas.
- Regulasi berbelit – Perizinan perkebunan skala besar tidak mudah didapat.
- Resistensi masyarakat adat – Sebagian lahan adalah tanah ulayat, yang berarti harus ada kesepakatan dengan masyarakat lokal.
- Isu lingkungan – Papua memiliki kawasan hutan luas, dan ekspansi perkebunan dalam skala besar mendapat perhatian dari kelompok lingkungan.
Pada 2014, Wilmar akhirnya membatalkan rencana investasi USD 1 miliar di Papua karena berbagai tantangan tersebut. Namun, lahan konsesi tetap ada, dan masih mungkin dimanfaatkan di masa depan.
Siapa yang Mendukung Wilmar?
Wilmar bukan pemain independen. Ekspansi mereka didukung oleh berbagai lembaga keuangan global. Berdasarkan laporan dari Forest & Finance, Wilmar mendapatkan pendanaan dari 232 lembaga pemodal, termasuk:
- Goldman Sachs
- Deutsche Bank
- Mizuho Financial
- Rabobank
- Credit Suisse
- ABN Amro
- World Bank
Di sisi regulasi, pemerintah Indonesia juga memiliki peran besar dalam mengatur industri gula. Beberapa lembaga yang mengawasi industri ini meliputi:
- Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian – Mengatur kebijakan industri gula dan perizinan usaha.
- Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) – Menangani investasi Wilmar di sektor perkebunan dan industri rafinasi.
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) – Mengawasi dampak lingkungan dari ekspansi perkebunan tebu.
Namun, operasi Wilmar juga terus diawasi oleh berbagai organisasi lingkungan seperti Greenpeace, Sawit Watch, dan Forest Peoples Programme (FPP).
Masa Depan Wilmar di Indonesia
Ada beberapa faktor yang akan menentukan masa depan Wilmar di Indonesia:
- Kebijakan impor gula mentah – Jika pemerintah memperketat kebijakan impor, industri rafinasi bisa terdampak.
- Persaingan dengan PTPN dan produsen lokal – Jika produsen dalam negeri semakin kuat, dominasi Wilmar di industri gula bisa berkurang.
- Tekanan dari aktivis dan masyarakat adat – Jika proyek perkebunan di Papua kembali diaktifkan, isu sosial dan lingkungan akan menjadi perhatian utama.
- Diversifikasi ke bioenergi – Dengan meningkatnya permintaan bioetanol, Wilmar memiliki peluang untuk mengembangkan bisnis baru.
Tetap Menjadi Pemain Kunci
Wilmar Sugar bukan sekadar produsen gula. Mereka adalah bagian dari ekosistem perdagangan gula global, mengendalikan rantai pasok dari hulu ke hilir.
Di Indonesia, mereka memiliki posisi yang kuat. Namun, industri ini dinamis. Regulasi bisa berubah, pasar bisa bergerak ke arah yang berbeda.
Apakah Wilmar akan terus mendominasi? Atau justru harus beradaptasi dengan perubahan regulasi dan pasar?
Yang pasti, industri gula akan terus berkembang, dan Wilmar tetap menjadi salah satu pemain utamanya.