VINANSIA.COM - Januari 2025, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan sebesar US$ 3,45 miliar. Angka yang bisa dibilang cukup positif, mengingat surplus itu artinya ekspor lebih besar dari impor. Tapi kalau kita lihat lebih dekat, ada yang menarik di balik surplus ini.
Ekspor Indonesia turun 8,56%, dan impor malah turun lebih dalam, mencapai 15,8%.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Ini mungkin bukan hanya soal angka-angka perdagangan, tapi juga soal daya beli kita.
Ekspor Turun, Tapi Apa Artinya?
Pernah nggak sih kamu merasa kalau barang-barang yang biasa kamu beli di luar negeri jadi lebih mahal atau sulit ditemukan? Bisa jadi, itu juga yang dirasakan oleh negara-negara yang biasa membeli barang dari Indonesia.
Ketika ekonomi global melambat, biasanya negara-negara pembeli utama kita seperti Amerika Serikat atau Eropa jadi lebih selektif dalam belanja.
Jadi, penurunan ekspor Indonesia bukan semata-mata soal kualitas barang kita atau harga yang nggak bersaing. Ini lebih ke soal permintaan yang menurun dari pasar internasional.
Ketika daya beli di negara besar menurun, mereka akan lebih hati-hati dalam membeli barang dari luar.
Ekspor Indonesia bisa turun, bukan karena produk kita jelek, tapi karena mereka nggak punya cukup uang untuk membeli.
Impor Turun Lebih Tajam: Apa Artinya?
Yang lebih menarik lagi adalah impor Indonesia yang turun lebih tajam—15,8%. Biasanya, impor turun kalau orang-orang di dalam negeri mulai mengurangi belanja barang dari luar. Nah, ini bisa jadi sinyal daya beli domestik yang mulai melemah.
Ketika konsumen dan bisnis di dalam negeri merasa ekonomi sedang nggak pasti, mereka cenderung berhemat.
Barang-barang impor, terutama yang tidak terlalu penting, jadi hal pertama yang dikurangi.
Bisa jadi juga, industri di Indonesia mulai menahan diri untuk membeli bahan baku atau barang modal dari luar negeri.
Kalau mereka merasa pasar lokal sedang lesu, ya wajar kalau mereka nggak mau mengambil risiko.
Hasilnya, impor barang-barang seperti mesin atau elektronik yang biasa digunakan dalam produksi juga turun.
Defisit dengan China: Ketergantungan yang Perlu Diwaspadai
Kalau kita lihat lebih lanjut, meskipun Indonesia mencatatkan surplus dengan negara seperti Amerika Serikat dan Filipina, ada satu hal yang perlu dicermati: Indonesia mengalami defisit dengan China.
Defisit dengan China ini jadi sinyal penting, karena menunjukkan seberapa besar ketergantungan kita terhadap satu negara.
Jika ekonomi China melambat, atau jika ada ketegangan perdagangan, kita bisa terpengaruh cukup besar.
Apa Hubungannya dengan Daya Beli Kita?
Lalu, apa kaitannya semua ini dengan daya beli kita? Pertama, ketika ekspor turun, itu menunjukkan bahwa permintaan global terhadap barang kita menurun, yang bisa jadi tanda daya beli negara-negara tujuan ekspor kita sedang tertekan.
Kedua, penurunan impor yang lebih tajam dari ekspor bisa jadi tanda kalau daya beli domestik kita memang sedang melemah.
Konsumen dan industri di dalam negeri mengurangi konsumsi barang luar negeri, baik karena faktor harga atau karena mereka merasa ekonomi sedang nggak pasti.
Secara keseluruhan, meskipun Indonesia mencatatkan surplus perdagangan, penurunan ekspor dan impor yang terjadi sebenarnya memberi petunjuk besar: daya beli kita—baik di tingkat global maupun domestik—sedang melemah.
Ini bukan hal yang bisa diabaikan, karena jika daya beli terus menurun, kita bisa menghadapi masalah yang lebih besar lagi di masa depan.