Nasib Saham Perhotelan di Tengah Kebijakan Efisiensi Anggaran Pemerintah

Nasib Saham Perhotelan di Tengah Kebijakan Efisiensi Anggaran Pemerintah
Nasib Saham Perhotelan di Tengah Kebijakan Efisiensi Anggaran Pemerintah

VINANSIA.COM - Industri hotel di Indonesia kembali diuji. Kali ini, bukan pandemi yang menjadi penyebabnya, melainkan kebijakan efisiensi anggaran pemerintah. 

Berdasarkan perhitungan asosiasi perhotelan, dampak dari kebijakan ini berpotensi menyebabkan kerugian hingga Rp 24,8 triliun per tahun bagi sektor hotel dan restoran.  

Angka itu bukan isapan jempol. Sebagian besar hotel di daerah sangat bergantung pada anggaran pemerintah, baik untuk akomodasi perjalanan dinas maupun penyelenggaraan acara. Dengan pemangkasan anggaran perjalanan dinas hingga 50%, dampaknya langsung terasa. Tingkat okupansi anjlok, ballroom mulai kosong, restoran kehilangan pelanggan tetapnya.  

Bagi industri perhotelan, ini adalah ujian kesekian kali. Saat pandemi, mereka berjuang mati-matian untuk bertahan. Banyak hotel yang terpaksa tutup sementara, merumahkan karyawan, bahkan gulung tikar. Kini, ketika kondisi mulai membaik, pukulan baru datang dari kebijakan fiskal pemerintah.  

Ketergantungan yang Berisiko 

Asosiasi perhotelan mencatat bahwa sekitar 70% pangsa pasar hotel di daerah berasal dari anggaran pemerintah. Artinya, hampir tiga perempat dari tamu mereka adalah pegawai negeri, peserta rapat, dan penyelenggara acara pemerintahan. Jika anggaran ini dipotong, otomatis bisnis hotel akan terpukul.  

Dampaknya tidak berhenti di situ. Bisnis perhotelan adalah ekosistem yang panjang. Dari pemasok bahan makanan, jasa laundry, perusahaan penyedia alat-alat konferensi, hingga tenaga kerja di sektor pendukung lainnya. Jika hotel kehilangan pelanggan, semua sektor ini ikut terdampak.  

Lebih jauh lagi, pemerintah daerah juga bisa kehilangan sumber pendapatan asli daerah (PAD). Pajak hotel dan restoran selama ini menjadi salah satu kontributor utama bagi banyak daerah. Jika pendapatan hotel merosot, penerimaan pajak ikut berkurang.  

Asosiasi perhotelan khawatir, jika kondisi ini terus berlanjut, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak bisa dihindari. Saat ini, sebagian besar hotel masih bertahan dengan cara efisiensi internal. Tapi jika okupansi terus turun tanpa ada kompensasi dari segmen lain, pilihan terakhirnya hanya satu: memangkas tenaga kerja.  

Investor Mulai Gelisah

Di pasar saham, efek dari kebijakan ini mulai terasa. Saham-saham di sektor perhotelan mendapat tekanan, meskipun belum sampai pada aksi jual besar-besaran. Investor paham bahwa ini bukan sekadar penurunan okupansi, tetapi juga ancaman terhadap stabilitas bisnis perhotelan dalam jangka panjang.  

Para pelaku pasar mulai memilah-milah. Hotel yang terlalu bergantung pada pasar pemerintah menjadi yang paling rentan. Sementara itu, hotel yang memiliki segmen pasar lebih luas—misalnya wisatawan domestik dan internasional—dianggap lebih memiliki daya tahan.  

Namun, investor juga sadar bahwa kebijakan ini tidak akan berubah dalam waktu dekat. Pemerintah sedang melakukan efisiensi besar-besaran, dengan target penghematan anggaran mencapai lebih dari Rp 300 triliun. Jadi, bagi saham-saham hotel yang terdampak langsung, ini bukan sekadar badai kecil. Ini bisa menjadi krisis berkepanjangan.  

Mencari Jalan Keluar

Jika bisnis hotel ingin bertahan, mereka harus segera beradaptasi. Tidak bisa lagi hanya mengandalkan anggaran pemerintah. Harus ada strategi baru untuk menarik segmen lain.  

Salah satu peluang yang bisa digarap adalah sektor korporasi swasta. Jika pemerintah mengurangi perjalanan dinas dan rapat di hotel, masih ada perusahaan-perusahaan swasta yang membutuhkan tempat untuk mengadakan acara. Hotel perlu lebih agresif dalam menarik pasar ini, misalnya dengan menawarkan paket harga yang lebih kompetitif atau memberikan fasilitas tambahan.  

Selain itu, segmen wisata domestik juga harus diperkuat. Dengan kondisi ekonomi yang mulai pulih, kelas menengah atas di Indonesia masih memiliki daya beli untuk berlibur. Hotel bisa mengalihkan fokusnya ke segmen ini dengan menawarkan promosi akhir pekan, paket staycation, atau pengalaman wisata yang lebih menarik.  

Ada juga opsi diversifikasi bisnis. Beberapa grup perhotelan mulai melirik sektor lain seperti properti, apartemen servis, dan co-working space. Dengan memanfaatkan aset yang ada, hotel bisa menciptakan sumber pendapatan baru tanpa terlalu bergantung pada tamu yang menginap.  

Namun, strategi ini membutuhkan waktu untuk membuahkan hasil. Sementara itu, kondisi pasar tetap tidak menentu.  

Nasib Saham Hotel: Jangka Pendek vs. Jangka Panjang

Dalam jangka pendek, saham-saham perhotelan berisiko mengalami tekanan lebih lanjut. Sentimen negatif dari pemangkasan anggaran pemerintah masih akan membayangi. Jika angka okupansi terus menurun, investor bisa semakin pesimistis.  

Namun, dalam jangka panjang, tidak semua saham hotel akan bernasib buruk. Hotel yang bisa beradaptasi dengan perubahan pasar masih memiliki peluang untuk bertahan dan bahkan tumbuh kembali.  

Bagi investor, ini saatnya selektif. Tidak semua saham hotel layak dihindari, tetapi juga tidak semua bisa diharapkan untuk cepat pulih. Hotel yang masih terpaku pada anggaran pemerintah kemungkinan besar akan kesulitan, sementara yang mampu berinovasi bisa menjadi pemenang dalam jangka panjang.  

Seperti dalam setiap krisis, akan selalu ada yang bertahan dan ada yang tumbang. Pertanyaannya hanya satu: siapa yang bisa membaca peluang lebih cepat?

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index