Mengapa Peternak Susu di Indonesia Melakukan Aksi Pembuangan Susu?

Mengapa Peternak Susu di Indonesia Melakukan Aksi Pembuangan Susu?
Aksi Peternak Membuah Susu

VINANSIA.COM - Kasus pembuangan 50.000 liter susu oleh peternak di Boyolali dan Pasuruan membuka tirai masalah serius dalam rantai pasokan dan penyerapan susu lokal di Indonesia. Di satu sisi, pemerintah menyerukan swasembada pangan, namun di sisi lain industri pengolahan membatasi kuota susu lokal, memicu kerugian besar bagi peternak.

Fenomena ini lebih dari sekadar masalah pasokan dan permintaan. Ada berbagai faktor kompleks yang saling berkelindan dan mempengaruhi keputusan para aktor utama dalam rantai ini.

Analisis Aktor Utama:

1. Peternak Susu Lokal: Peternak di Indonesia, khususnya di daerah seperti Boyolali dan Pasuruan, sebagian besar bergantung pada kuota industri pengolahan untuk penyerapan susu mereka. Ketika kuota dipangkas, mereka menghadapi situasi tanpa opsi lain—pasar lokal belum cukup matang untuk menyerap kelebihan produksi, sementara rantai distribusi langsung ke konsumen akhir masih terbatas. Perjuangan mereka bukan hanya soal harga jual, tetapi juga soal bertahan hidup dalam ekosistem yang dikendalikan oleh industri besar.

2. Industri Pengolahan Susu: Industri pengolahan, yang seharusnya menjadi “jembatan” dari peternak ke konsumen, berada dalam posisi kuat untuk menentukan kuota pembelian. Berdasarkan informasi dari lapangan, perusahaan-perusahaan ini cenderung memilih untuk meningkatkan impor susu bubuk dari luar negeri. Alasannya bisa beragam—mulai dari harga yang lebih murah hingga ketersediaan pasokan yang lebih konsisten. Langkah ini, meski menguntungkan bagi mereka dari sisi biaya, sekaligus menghancurkan pasar peternak lokal.

3. Pemerintah: Pemerintahan Prabowo Subianto telah bertekad untuk mencapai swasembada pangan, yang tentunya mencakup produksi susu lokal. Namun, di lapangan, regulasi yang melindungi peternak lokal tampaknya kurang efektif atau bahkan belum diterapkan. Kebijakan swasembada akan sulit terealisasi bila pemerintah tak berhasil mengatur harmonisasi antara industri pengolahan, peternak, dan pasar konsumen.

1. Mengapa Kuota Susu Lokal Dibatasi?

Salah satu pertanyaan besar yang perlu digali lebih dalam adalah mengapa industri pengolahan begitu keras membatasi penyerapan susu lokal. Analisis awal menunjukkan adanya pergeseran preferensi industri untuk menggunakan susu bubuk impor. Namun, hal ini bisa jadi hanyalah puncak gunung es. Apakah ada kepentingan bisnis tertentu yang mendorong kebijakan ini? Apakah ada ketidakseimbangan biaya produksi lokal yang membuat industri pengolahan enggan bekerja sama dengan peternak?

2. Peran Impor dalam Mempengaruhi Pasar:

Impor susu bubuk dengan pajak rendah memengaruhi harga pasar, membuat produk impor lebih kompetitif dibandingkan produk lokal. Ini adalah titik krusial yang harus diteliti lebih dalam. Kemudahan impor bukan hanya menekan harga lokal, tetapi juga mengisyaratkan adanya kebijakan yang kurang berpihak pada peternak. Sebuah penyelidikan terhadap pola dan volume impor mungkin mengungkapkan kepentingan tersembunyi di balik keputusan industri untuk lebih mengandalkan produk luar.

3. Apakah Ada “Permainan” di Balik Pajak?

Firman Soebagyo, anggota DPR dari partai Golkar dalam salah satu tulisannya di media mengungkapkan bahwa peternak dibebani pajak yang memberatkan, bahkan saat mereka berjuang dengan penurunan kuota. Ini adalah indikasi adanya masalah struktural dalam sistem perpajakan yang menekan peternak di saat yang paling sulit. Ada kemungkinan kebijakan ini bukan ketidaksengajaan, melainkan salah satu mekanisme yang secara tak langsung meminggirkan susu lokal demi susu impor yang lebih murah. Kebijakan pajak yang seharusnya melindungi produk lokal malah menjadi bumerang bagi peternak.

Konsekuensi Jangka Panjang:

1. Melemahnya Ketahanan Pangan Lokal:

Jika pola ini berlanjut, ketergantungan pada impor akan semakin besar. Saat ini, Indonesia mengimpor hingga 80% kebutuhan susu dalam bentuk bubuk. Tanpa intervensi yang efektif, visi swasembada hanya akan menjadi retorika. Ketergantungan pada impor membuat ketahanan pangan Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga dan kebijakan luar negeri, terutama jika terjadi krisis global yang menghambat pasokan.

2. Krisis Kepercayaan pada Pemerintah:

Janji pemerintah untuk mendukung industri lokal dan peternak dapat berubah menjadi bumerang. Jika tidak ada aksi konkret untuk melindungi pasar lokal, bukan hanya peternak yang kehilangan kepercayaan pada pemerintah, tetapi juga masyarakat luas. Peternak dapat kehilangan semangat untuk berproduksi, yang mengarah pada penurunan produksi dalam negeri dan hilangnya lapangan pekerjaan di sektor ini.

3. Potensi Kartel dalam Industri Susu:

Jika benar bahwa industri pengolahan secara sepihak membatasi kuota tanpa alasan yang jelas, maka ada kemungkinan kuat bahwa tindakan ini adalah hasil dari praktik kartel. Pemerintah perlu menyelidiki lebih lanjut untuk memastikan tidak ada kesepakatan terselubung yang menguntungkan segelintir pihak dengan mengorbankan peternak dan ketahanan pangan nasional.

Rekomendasi Strategis:

1. Kebijakan Proteksi untuk Peternak Lokal:

Pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang memberikan perlindungan lebih bagi peternak lokal. Misalnya, pajak atau tarif khusus untuk impor susu bubuk yang mengancam pasar lokal atau, sebaliknya, insentif pajak untuk peternak lokal. Langkah ini akan membuat produksi lokal menjadi lebih kompetitif.

2. Transparansi Kuota Penyerapan oleh Industri Pengolahan:

Industri pengolahan sebaiknya diwajibkan untuk melaporkan alasan kuota mereka secara transparan, termasuk alasan memilih impor. Jika ditemukan alasan yang tak relevan atau ada indikasi permainan harga, pemerintah perlu bertindak tegas melalui sanksi atau peninjauan kebijakan.

3. Kolaborasi dengan Lembaga Pengawas:

Lembaga seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perlu dilibatkan untuk menyelidiki adanya potensi kartel. Jika ada bukti kesepakatan yang merugikan pasar susu lokal, KPPU harus mengambil tindakan untuk membongkar praktik ini dan memberikan denda atau sanksi yang setimpal.

4. Pembentukan Pasar Lokal Mandiri:

Pemerintah dan lembaga terkait bisa mengembangkan pasar atau saluran distribusi alternatif yang mempertemukan peternak dengan konsumen tanpa perantara industri pengolahan besar. Misalnya, menginisiasi program subsidi untuk sekolah dan rumah sakit agar menggunakan susu lokal.

Kesimpulan 

Situasi ini adalah contoh klasik dari "permainan kekuasaan ekonomi," di mana pihak kuat (industri pengolahan) memegang kendali penuh atas pasar, sementara pihak lemah (peternak) berada di bawah tekanan tanpa opsi yang memadai. Dalam sistem yang tidak diatur dengan baik, keputusan-keputusan besar bisa berujung pada kerugian yang menimpa banyak pihak.

Namun, dengan analisis dan intervensi yang tepat, pemerintah dapat memecah pola ini dan menciptakan kondisi yang lebih adil. Menyelidiki rantai pasokan, menyelidiki pengaruh kebijakan pajak, dan memutus potensi kartel adalah langkah penting untuk mewujudkan industri susu lokal yang kuat dan berkelanjutan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index
Seedbacklink