Indonesia Bertaruh $34 Miliar demi Tarif AS yang Lebih Ringan

Indonesia Bertaruh $34 Miliar demi Tarif AS yang Lebih Ringan
Indonesia Bertaruh $34 Miliar demi Tarif AS yang Lebih Ringan

 

VINANSIA.COM - Indonesia memasuki minggu yang menentukan. Pada 7 Juli, pemerintah dijadwalkan meneken nota kesepahaman senilai $34 miliar dengan mitra bisnis asal Amerika Serikat. Tujuannya satu: menghindari tarif tinggi dari Gedung Putih yang akan diumumkan dua hari kemudian, pada 9 Juli.

Taruhannya besar. Pemerintahan Trump berencana mengenakan tarif balasan terhadap beberapa negara, dan Indonesia—yang mencetak surplus $17,9 miliar dengan AS tahun lalu—hampir pasti masuk dalam daftar itu. Angka tarif yang beredar: 32%.

Pemerintah menempuh jalur diplomasi dagang di menit-menit terakhir.

Langkah Besar, Waktu Kritis

Menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, MoU ini akan mencakup peningkatan pembelian bahan bakar dan produk agrikultur dari AS, serta komitmen investasi Indonesia di sektor energi AS. Garuda Indonesia juga tengah menjajaki pembelian hingga 75 pesawat Boeing—meski belum dikonfirmasi apakah ini bagian dari paket dagang yang sama.

Pemerintah berharap, dengan proposal sebesar ini, AS akan melunak. Bahkan secara terbuka, Airlangga menyatakan targetnya: tarif Indonesia lebih rendah dari Vietnam.

Vietnam sendiri adalah contoh yang menarik. Negara itu sempat menghadapi ancaman tarif 46%, tetapi setelah melakukan negosiasi dan memberikan konsesi, AS menurunkan tarif Vietnam menjadi 20% saja. Sebuah hasil yang, dalam konteks perdagangan Trump, tergolong “sukses”.

Indonesia tampaknya ingin mengikuti jejak serupa—dengan angka yang lebih mencolok.

Namun waktu menjadi tantangan. Vietnam sudah menyepakati lebih dulu. China bahkan sudah lebih dahulu mencapai “konsensus” dagang dengan AS—semacam gencatan senjata dagang yang mencegah kenaikan tarif berikutnya. Sementara itu, Indonesia baru menyodorkan proposal di pekan terakhir jelang tenggat.

Apakah $34 Miliar Itu Cukup?

Di atas kertas, angka itu mengesankan. Tapi pertanyaannya: apakah itu sebanding dengan risiko ekonomi Indonesia jika tarif tinggi benar-benar dikenakan?

Sektor tekstil, alas kaki, elektronik—yang sangat bergantung pada pasar AS—akan terkena dampak langsung. Bahkan jika hanya sebagian dari tarif itu yang berlaku, tekanan terhadap ekspor, tenaga kerja, dan neraca dagang bisa signifikan. Apalagi, Indonesia tengah berusaha menjaga stabilitas rupiah dan menyeimbangkan APBN 2025 yang sedang tertekan.

Di sinilah konteks menjadi penting.

Proposal ini bukan cuma soal nilai. AS menilai sinyal dan kepercayaan. Apakah ini betul-betul komitmen jangka panjang, atau sekadar taktik sesaat?

Dan satu hal lagi: berapa tarif yang akan ditetapkan untuk Indonesia? Jika Vietnam dapat 20%, mungkinkah Indonesia mendapat tarif lebih rendah? Atau justru tetap dikenai 32% karena dianggap terlambat?

Trump, 12 Negara, dan Surat yang Sudah Ditandatangani

Pada 5 Juli, Presiden Trump menyatakan bahwa ia telah menandatangani surat untuk menetapkan tarif pada “sekitar 12 negara.” Ia menolak menyebutkan siapa saja, hanya mengatakan akan diumumkan Senin (8 Juli waktu AS).

"Berbagai jumlah uang, tarif, dan pernyataan yang berbeda-beda," kata Trump, dikutip Anadolu Agency.

Artinya, window of opportunity Indonesia semakin sempit. MoU sebesar apa pun, jika dianggap tidak kredibel atau terlalu terlambat, bisa jadi tak cukup untuk mengubah arah kebijakan Trump yang kini sangat bergantung pada politik elektoral menjelang Pilpres.

Pelajaran dari Diplomasi Dagang

Apapun hasilnya nanti, episode ini memberi pelajaran penting: diplomasi dagang kini bukan hanya soal perdagangan, tapi soal kecepatan, posisi tawar, dan momentum politik.

Negara seperti Vietnam bisa menjadi model, bukan karena ukurannya, tapi karena kecepatannya membaca arah angin Washington. Sementara China, dengan kepentingan strategisnya, tahu kapan harus mengulur, kapan harus memberi konsesi.

Indonesia akhirnya memilih untuk bertaruh.

$34 miliar dipertaruhkan demi harapan: bahwa komitmen ekonomi yang konkret masih bisa menyeimbangkan politik tarif yang transaksional.

Tapi apakah itu cukup?

Jawabannya akan kita lihat dalam hitungan hari.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index