Profil Wings Group, Dari Sabun Rumahan ke Konglomerat FMCG Terbesar di Indonesia

Profil Wings Group, Dari Sabun Rumahan ke Konglomerat FMCG Terbesar di Indonesia
Wings Group: Dari Sabun Rumahan ke Konglomerat FMCG Terbesar di Indonesia

VINANSIA.COM - Siapa sangka sabun batang murah yang dijajakan dari sepeda keliling kampung bisa menjadi fondasi salah satu kerajaan bisnis terbesar dan paling low-profile di Indonesia?

Itulah kisah Wings Group—konglomerat consumer goods yang produknya mungkin ada di setiap rumah, tapi jarang disorot publik. Di balik deterjen So Klin, Mie Sedaap, hingga minuman Golda Coffee, berdiri sejarah panjang tentang kerja keras, efisiensi ekstrem, dan filosofi bisnis kelas pekerja.

Akar dari Surabaya, Mimpi dari Dua Imigran

Wings lahir pada tahun 1948, dari tangan dua imigran Tionghoa: Johannes Ferdinand Katuari dan Harjo Sutanto. Mereka memulai dari nol—sebuah pabrik sabun kecil di Surabaya, hanya dengan enam karyawan. Produk pertama mereka: sabun batang murah bermerek “Wings”, dijual dari pintu ke pintu dengan sepeda.

Slogannya sederhana namun kuat: “kualitas tinggi, harga rakyat.” Inilah DNA Wings yang tak pernah berubah.

Nama “Wings” bukan sembarangan. Dua sayap itu melambangkan dua pendiri yang terbang bersama membangun sesuatu lebih besar dari bisnis: sebuah visi hidup. Dari awal, mereka sadar bahwa kebutuhan sehari-hari—sabun, deterjen, makanan instan—bisa menjadi fondasi konglomerasi besar jika digarap dengan fokus dan skala.

Lompatan Besar: Sabun Ekonomi dan Sayap Mas Utama

Tahun 1971, Wings mencetak sukses lewat sabun krim legendaris: Ekonomi. Tiga tahun kemudian, anak Johannes mendirikan kantor Jakarta dan membentuk PT Sayap Mas Utama—cikal bakal Wings Group modern.

Di sinilah ekspansi masif dimulai. Satu demi satu produk consumer goods diluncurkan, mulai dari sabun colek, deterjen, hingga personal care. Wings mengeluarkan So Klin, Nuvo, Giv, Zinc, dan Kodomo. Semua menjadi household names. Tak puas, mereka menggandeng Lion Corp Jepang dan mendirikan PT Lion Wings untuk lini toiletries dan perawatan bayi.

Strateginya? Masuk ke sebanyak mungkin rumah tangga Indonesia lewat harga kompetitif, distribusi kuat, dan produk yang “cukup bagus”—tak harus terbaik, tapi selalu bisa diandalkan.

1998: Krisis bagi Banyak, Momentum bagi Wings

Saat krisis finansial mengguncang Indonesia pada 1998, Wings justru melesat. Ketika banyak perusahaan kolaps akibat utang dan volatilitas dolar, Wings yang konservatif dan mengandalkan pendanaan sendiri tetap stabil.

Mereka meluncurkan Daia, deterjen mass-market yang menyaingi produk Unilever. Wings membaca pasar dengan jeli: masyarakat menengah-bawah butuh produk murah tapi fungsional. Wings menyediakan jawabannya.

Tahun yang sama, Wings mulai masuk ke bisnis makanan dan minuman. Mulanya kecil—produk minuman serbuk seperti Jas Jus dan Segar Dingin—lalu berevolusi cepat.

Tahun demi tahun mereka merilis produk-produk baru:

2003: Mie Sedaap – penantang serius Indomie

2007: Ale-Ale

2012: Floridina

2018: Golda Coffee

2021: Milku

Dalam dua dekade, Wings menjelma menjadi salah satu raksasa FMCG makanan-minuman Indonesia. Mereka tak sekadar menjual produk—mereka mengerti cara membangun loyalitas konsumen lewat repetisi dan harga terjangkau.

Kuasai Rantai Pasok, Bukan Cuma Produk

Rahasia kekuatan Wings bukan cuma di merek, tapi di kendali rantai pasok. Mereka tidak bergantung pada pemasok eksternal untuk bahan baku utama.

Wings memiliki:

Pabrik kimia dan oleokimia (untuk ABS dan fatty acid sabun/deterjen)

Kebun sawit

Pabrik minyak goreng

Perusahaan gula (PT Pratama Nusantara Sakti)

Unit kemasan plastik sendiri

Kontrol menyeluruh ini membuat mereka tahan banting terhadap fluktuasi harga komoditas dan gangguan pasokan global. Mereka bisa menjaga margin, bahkan saat kompetitor terpukul.

Diversifikasi Diam-Diam

Meski terkenal karena sabun dan mi instan, portofolio Wings jauh lebih luas. Mereka masuk ke:

Properti: Raffles Hills, Graha Ekonomi, hingga The Apurva Kempinski Bali

Keuangan: Bank MAS dan Ekokapital Sekuritas

Bahan bangunan: gipsum, ubin keramik, genteng (M-Class)

Ritel & F&B: FamilyMart dan Yoshinoya (melalui kerja sama lisensi dan investasi)

Namun semua dilakukan dengan gaya khas Wings: diam-diam tapi efektif.

Low Profile by Design

Hal paling unik dari Wings bukan skala bisnisnya, tapi betapa minimnya eksposur publik mereka. Kantor pusat dan pabrik banyak yang bahkan tidak memasang papan nama.

Mie Sedaap—yang kini menguasai pangsa pasar besar—diproduksi di fasilitas yang jarang diketahui publik. Tak ada tokoh flamboyan, tak ada konglomerat yang jadi selebritas.

Keluarga Katuari dan Sutanto kini berada di generasi kedua, dan tetap kompak. Mereka membagi tugas berdasarkan keahlian, menghindari konflik warisan yang kerap menghantui konglomerasi keluarga.

Dari Sabun ke Superstruktur

Wings Group adalah contoh klasik dari model bisnis “grassroots to giant.” Mereka tidak mengejar prestise, tapi volume. Tidak memaksakan branding mewah, tapi mengejar efisiensi distribusi dan penguasaan pasar.

Mereka membangun imperium dari “harga murah”—dan menjadikannya kekuatan ekonomi skala masif.

Di tengah dunia bisnis yang kerap riuh dengan narasi dan selebritas, Wings membuktikan satu hal: kerja senyap, strategi matang, dan fokus pada kebutuhan rakyat bisa membawa Anda terbang sangat tinggi.

Tanpa banyak bicara, Wings tetap terbang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index