Surplus Terendah dalam Lima Tahun, Tapi Ini Bukan Cerita Tentang Krisis

Surplus Terendah dalam Lima Tahun, Tapi Ini Bukan Cerita Tentang Krisis
Surplus Terendah dalam Lima Tahun, Tapi Ini Bukan Cerita Tentang Krisis

VINANSIA.COM - Neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus hanya USD 158,8 juta pada April 2025. Angka ini mengejutkan banyak pihak, karena jauh dari ekspektasi pasar yang memperkirakan surplus lebih dari USD 3 miliar. 

Bagi sebagian pengamat, ini bisa dibaca sebagai tanda pelemahan ekonomi. Namun, jika dilihat lebih dalam, justru ada cerita yang berbeda — dan barangkali lebih penting — yang sedang berlangsung di balik data tersebut.

Impor Indonesia melonjak 21,84% dibandingkan April tahun lalu, mencapai USD 20,59 miliar. Kenaikan ini terjadi hampir setara dengan nilai ekspor yang sebesar USD 20,74 miliar. Kombinasi ini menekan surplus perdagangan ke titik terendah sejak Mei 2020 — saat ekonomi dunia terpukul pandemi. Tapi konteks sekarang berbeda.

Yang patut dicermati bukan hanya jumlahnya, melainkan komposisi impornya. Lonjakan terjadi pada barang-barang modal seperti mesin dan peralatan, serta bahan baku industri. 

Ini bukan jenis impor konsumtif yang menandakan pemborosan, melainkan jenis impor yang menjadi prasyarat bagi kegiatan produksi. Industri manufaktur terlihat sedang mempersiapkan diri untuk kembali bergerak lebih kencang.

Dalam empat bulan pertama tahun ini (Januari–April), Indonesia sebenarnya tetap mencatat surplus perdagangan sebesar USD 11,07 miliar, naik dari periode yang sama tahun lalu. Pendorong utamanya adalah ekspor non-migas yang tumbuh 9,18%. 

Namun, sektor migas justru mengalami penurunan ekspor sebesar 8,27%, menyumbang defisit sebesar USD 6,19 miliar. Melemahnya harga komoditas energi global turut berperan dalam penurunan tersebut.

Hubungan dagang Indonesia dengan dua mitra utama juga menyimpan dinamika menarik. Surplus dengan Amerika Serikat mencapai USD 6,4 miliar dalam empat bulan pertama tahun ini. Ini menjadi sinyal positif bahwa produk-produk bernilai tambah dari Indonesia semakin kompetitif di pasar ekspor besar. 

Namun, di sisi lain, defisit dengan Tiongkok melebar ke USD 6,9 miliar. Ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan baku dan mesin dari Tiongkok masih tinggi dan menunjukkan belum optimalnya upaya substitusi impor.

Apa maknanya semua ini?

Pertama, data perdagangan April seharusnya dibaca sebagai bagian dari proses pemulihan dan transformasi ekonomi, bukan sebagai lonceng peringatan atas melemahnya ekonomi. Naiknya impor barang modal dan bahan baku menunjukkan geliat industri. Dengan kata lain, ekonomi sedang bersiap untuk bertumbuh, bukan menyusut.

Kedua, situasi ini mengingatkan kita bahwa surplus perdagangan bukan satu-satunya indikator kesehatan ekonomi. Surplus besar tapi disertai stagnasi produksi atau ekspor yang berbasis bahan mentah tanpa nilai tambah, bukanlah kemenangan jangka panjang. Yang lebih penting adalah struktur ekonomi yang kokoh dan berdaya saing.

Ketiga, tantangan struktural tetap nyata: kita masih sangat tergantung pada impor untuk kebutuhan produksi. Tanpa strategi hilirisasi yang konsisten dan upaya penguatan industri lokal, ketergantungan ini akan terus menekan neraca berjalan di tengah gejolak harga global.

April 2025 bukan titik kemunduran. Ia adalah cermin bahwa ekonomi Indonesia sedang bergerak ke fase baru — fase pembangunan industri yang lebih dalam dan terintegrasi. Tentu saja, jalan ini tidak akan bebas gejolak. Tapi jika momentum ini dikelola dengan baik, ini bisa menjadi titik balik menuju ekonomi yang lebih mandiri dan tahan guncangan eksternal.

Ekonomi, pada akhirnya, bukan hanya soal angka. Ia adalah arah. Dan saat ini, arah kita sedang diuji — apakah sekadar mengejar surplus, atau membangun fondasi pertumbuhan jangka panjang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index