Batang, Shenzhen-nya Indonesia? Ambisi Besar di Tengah Risiko Struktural

Batang, Shenzhen-nya Indonesia? Ambisi Besar di Tengah Risiko Struktural
Batang, Shenzhen-nya Indonesia? Ambisi Besar di Tengah Risiko Struktural

VINANSIA.COM - Di tengah stagnasi pertumbuhan ekonomi nasional yang masih tertahan oleh lemahnya daya beli dan ekspektasi investor yang belum sepenuhnya pulih, sebuah proyek industri raksasa di Jawa Tengah mencuri perhatian. Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB), yang kini berganti nama menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industropolis Batang, tengah disiapkan menjadi episentrum baru manufaktur Indonesia—dan bahkan, dengan nada ambisius, disebut-sebut sebagai Shenzhen-nya Jawa Tengah.

Transformasi ini bukan proyek sembarangan. KEK Batang kini menjadi bagian dari inisiatif strategis Two Countries Twin Parks (TCTP), sebuah program kerja sama antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok yang mengintegrasikan kawasan industri di kedua negara. Di satu sisi, Tiongkok mengincar perluasan basis produksinya di Asia Tenggara di tengah tekanan geopolitik global. Di sisi lain, Indonesia berharap mendulang manfaat dari limpahan investasi, penciptaan lapangan kerja, dan transfer teknologi.

Hingga Maret 2025, kawasan ini telah menyerap investasi senilai Rp17,95 triliun dan membuka lebih dari 7.000 lapangan kerja. Pemerintah menargetkan Rp75,8 triliun masuk dalam lima tahun ke depan, dengan proyeksi serapan tenaga kerja hingga 250.000 orang. Beberapa perusahaan Tiongkok yang sudah masuk antara lain Wanxinda Group (Rp1 triliun), serta PT Sumber Sukses Machinery dan PT Xian Jian Indonesia (total Rp900 miliar).

Sektor yang digarap pun bukan kelas ecek-ecek: otomotif, elektronik, baja, sepatu, hingga agrikultur berbasis teknologi. Bahkan kawasan ini dirancang dengan model green industrial estate yang diharapkan jadi wajah baru industrialisasi Indonesia yang modern dan berkelanjutan.

Namun, di balik retorika optimisme dan seremoni peresmian, ada sejumlah pertanyaan mendasar yang perlu diajukan:
Siapa yang diuntungkan? Siapa yang dirugikan? Dan apakah kita benar-benar siap menjadi "Shenzhen berikutnya"?

Pertama, dari sisi ketenagakerjaan. Proyeksi 250 ribu lapangan kerja memang menjanjikan, tapi kualitasnya masih perlu dicermati. Industri padat karya yang masuk, seperti sepatu dan tekstil, seringkali menyerap tenaga kerja dengan upah minimum dan daya tawar rendah. Jika industri-industri ini tidak terhubung dengan rantai pasok lokal yang kuat, maka UMKM hanya akan menjadi penonton, bukan mitra aktif.

Kedua, soal dominasi investor asing. Tidak ada yang salah dengan investasi luar negeri, tapi ketergantungan berlebihan tanpa penguatan kapasitas nasional bisa berujung pada deindustrialisasi terselubung. Apalagi jika transfer teknologi hanya jadi jargon, tanpa ada insentif struktural untuk membangun inovasi lokal.

Ketiga, isu agraria dan lingkungan. Sejauh ini belum banyak dibahas, tapi ekspansi kawasan industri seluas 4.300 hektare jelas akan beririsan dengan kepentingan lahan warga dan ekosistem. Di titik inilah transparansi dan akuntabilitas menjadi sangat penting.

Terakhir, adalah soal politik industri itu sendiri. Apakah KEK Batang adalah bagian dari grand strategy jangka panjang, atau hanya proyek mercusuar yang akan ditinggalkan ketika rezim berganti? Indonesia sudah terlalu sering punya “kawasan industri harapan” yang akhirnya mati suri karena tidak ada kesinambungan kebijakan.

Pemerintah tentu patut diapresiasi atas upaya menjadikan Batang sebagai alternatif baru industrialisasi nasional. Tapi mengelola kawasan sebesar ini tidak cukup dengan seremoni, baliho, atau investor gathering. 

Yang dibutuhkan adalah kepemimpinan lintas sektor, insentif fiskal yang tepat sasaran, regulasi yang stabil, dan—yang tak kalah penting—kesiapan sumber daya manusia.

Jangan sampai Batang hanya menjadi “Shenzhen” dalam pidato politik, tanpa terwujud dalam realitas ekonomi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index