VINANSIA.COM - Dunia startup Indonesia sedang gempar. eFishery, perusahaan rintisan di sektor akuakultur yang sempat menjadi kebanggaan nasional, kini terperosok dalam skandal keuangan yang memalukan.
Laporan keuangan dimanipulasi, pendapatan digembungkan, dan angka-angka palsu menjadi senjata untuk menarik investor. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Mari kita urai satu per satu.
Bagian 1: Awal Mula Kebohongan – Rekayasa Pendapatan dan Perusahaan Bayangan (2018-2023)
Tahun 2018, eFishery baru mulai menarik perhatian investor. Seperti startup lainnya, mereka membutuhkan suntikan dana untuk ekspansi. Masalahnya, bisnis ini masih dalam tahap awal, pendapatan belum signifikan, dan investor tentu ingin melihat pertumbuhan yang cepat.
Di sinilah dugaan manipulasi dimulai. Gibran Huzaifah, pendiri sekaligus CEO eFishery, diduga membuat lima perusahaan fiktif (shell companies). Perusahaan-perusahaan ini seolah-olah menjadi pelanggan dan mitra bisnis eFishery, padahal sebenarnya hanya alat untuk menciptakan ilusi transaksi keuangan.
Dampaknya? Pendapatan eFishery terlihat melonjak pesat di atas kertas:
- 2021: Laporan eksternal menyebut pendapatan Rp1,6 triliun, padahal laporan internal hanya Rp1 triliun.
- 2022: Pendapatan yang diklaim mencapai Rp5,8 triliun, sementara data internal menunjukkan Rp4,3 triliun.
- 2023: Dengan laporan pendapatan Rp10,8 triliun (padahal aslinya Rp6 triliun), eFishery mencapai status unicorn dengan valuasi lebih dari $1 miliar.
Investor pun berdatangan. SoftBank, Temasek, dan investor besar lainnya percaya bahwa eFishery sedang dalam jalur pertumbuhan luar biasa. Tapi mereka tidak tahu bahwa angka-angka itu hasil polesan belaka.
Bagian 2: Puncak Manipulasi – Laporan Palsu dan Pendapatan yang Digembungkan (2024)
Di tahun 2024, kebohongan ini semakin berani. Laporan pendapatan Januari-September 2024 menyebut angka fantastis: Rp12,2 triliun. Tapi setelah diselidiki, angka sebenarnya hanya Rp2,55 triliun. Artinya, hampir 80% dari pendapatan yang dilaporkan adalah manipulasi.
Bukan cuma itu. Beberapa kebohongan lain juga mulai terbongkar:
- Smart feeder yang diklaim 400.000 unit, ternyata hanya 24.000 yang benar-benar aktif.
- Pembukuan fiktif untuk pembelian pakan ikan senilai Rp1,02 triliun.
- Kerugian operasional justru terus meningkat, meskipun laporan keuangan mengklaim keuntungan.
Pada titik ini, eFishery ibarat gelembung sabun. Terlihat mengkilap di luar, tapi siap pecah kapan saja.
Bagian 3: Skandal Terbongkar – Laporan Whistleblower dan Audit Besar-Besaran (Desember 2024 - Januari 2025)
Desember 2024 menjadi bulan yang menentukan. Seorang whistleblower dari dalam perusahaan mengungkap kejanggalan laporan keuangan ke dewan direksi. Informasi ini segera memicu penyelidikan internal yang melibatkan firma audit independen FTI Consulting.
Proses audit ini tidak main-main:
- 400.000+ dokumen diperiksa
- 20+ karyawan diwawancarai
- Semua komunikasi internal (WhatsApp, Slack, email) dianalisis
Dan hasilnya mengejutkan. Total manipulasi keuangan dari 2018-2024 mencapai $600 juta (sekitar Rp9,7 triliun). Perusahaan yang dikira sehat ternyata penuh dengan utang dan piutang bermasalah.
Bagian 4: Langkah Drastis – Gibran Dicopot, Investor Panik (Januari 2025)
Tak butuh waktu lama bagi dewan direksi untuk bertindak. Pada 23 Januari 2025, Gibran Huzaifah resmi dicopot dari jabatannya sebagai CEO. Posisinya sementara digantikan oleh Adhy Wibisono.
Namun, pemecatan CEO saja tidak cukup untuk meredam kepanikan. Investor mulai menarik diri dan kredibilitas startup Indonesia ikut terancam.
Masalah lain yang kini menghantui eFishery:
- Piutang bermasalah Rp1,02 triliun
- Total aset Rp3,6 triliun, tapi hampir 30% tidak bisa diuangkan
- Investor seperti SoftBank dan Temasek mulai melakukan penyelidikan lanjutan
Bagian 5: Akhir yang Pahit – Pelajaran untuk Ekosistem Startup Indonesia
Kasus eFishery bukan hanya sekadar skandal perusahaan. Ini adalah tamparan keras bagi ekosistem startup Indonesia.
Selama ini, banyak startup berlomba-lomba untuk mendapatkan status unicorn, sering kali mengabaikan transparansi keuangan. Kasus ini membuktikan bahwa valuasi tinggi bukan jaminan keberhasilan.
Regulator dan investor kini harus lebih berhati-hati. Euforia terhadap startup harus diimbangi dengan audit ketat dan tata kelola yang lebih baik. Jika tidak, eFishery bukanlah yang terakhir.
Startup lain bisa jadi sedang menyimpan cerita yang sama—hanya menunggu waktu untuk terbongkar.