VINANSIA.COM - Pemerintah Indonesia mengambil langkah baru dalam redistribusi sumber daya alam dengan memberikan izin kepada Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) untuk mengelola tambang batu bara bekas milik PT Adaro Energy Tbk dan PT Kaltim Prima Coal (KPC).
Kebijakan ini, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 25/2024, bertujuan untuk memanfaatkan aset negara yang sudah tidak produktif oleh korporasi besar, sekaligus memberdayakan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan.
Namun, langkah ini juga membawa tantangan besar, mulai dari pengelolaan yang profesional hingga dampak lingkungan yang perlu ditangani dengan serius.
Transformasi Peran Ormas dalam Ekonomi
Muhammadiyah mendapatkan tambang bekas Adaro, sedangkan NU telah membentuk PT Berkah Usaha Muamalah Nusantara (BUMN) untuk mengelola tambang bekas KPC di Kalimantan Timur, yang mencakup area seluas 25.000-26.000 hektare. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa langkah ini bertujuan untuk mendiversifikasi pengelolaan sumber daya alam sekaligus menciptakan sumber pendanaan bagi ormas keagamaan.
“Wilayah tambang ini dapat dimanfaatkan untuk mendukung program sosial yang dijalankan Muhammadiyah dan NU. Ini adalah bagian dari redistribusi manfaat ekonomi kepada masyarakat melalui organisasi yang terpercaya,” ujar Bahlil pada Jumat (10/1).
Peluang yang Ditawarkan
1. Pendanaan Program Sosial: Tambang ini berpotensi menjadi sumber pendanaan besar bagi Muhammadiyah dan NU untuk memperkuat program pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi komunitas.
2. Redistribusi Ekonomi: Dengan kebijakan ini, pemerintah menunjukkan keberpihakan kepada komunitas keagamaan sebagai mitra dalam pengelolaan sumber daya alam.
3. Keterlibatan Komunitas: Ormas keagamaan memiliki jaringan luas yang dapat digunakan untuk melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan tambang.
Tantangan yang Perlu Diatasi
Namun, peluang ini datang dengan tantangan besar yang harus dikelola secara hati-hati:
1. Kapasitas Teknis: Baik Muhammadiyah maupun NU memiliki pengalaman terbatas dalam mengelola tambang berskala besar. Pengelolaan yang tidak optimal dapat menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial.
2. Dampak Lingkungan: Tambang batu bara dikenal memiliki dampak lingkungan yang signifikan, termasuk deforestasi, pencemaran air, dan emisi karbon. Ormas keagamaan harus memastikan bahwa pengelolaan tambang ini sesuai dengan standar lingkungan yang ketat.
3. Akuntabilitas dan Transparansi: Sebagai organisasi berbasis kepercayaan publik, Muhammadiyah dan NU harus menunjukkan transparansi dalam pengelolaan tambang, terutama dalam alokasi keuntungan untuk program sosial.
4. Konflik Nilai: Sebagai institusi berbasis nilai-nilai agama, keterlibatan dalam bisnis tambang yang sering dikritik karena dampak negatif terhadap lingkungan dapat memunculkan dilema etis.
Peluang Besar Membutuhkan Tanggung Jawab Besar
Keterlibatan Muhammadiyah dan NU dalam sektor tambang merupakan langkah strategis yang dapat membawa dampak positif besar, baik bagi organisasi maupun masyarakat luas. Namun, keberhasilannya tidak dapat diukur hanya dari sisi ekonomi.
Kedua ormas ini memikul tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa tambang dikelola dengan prinsip keberlanjutan, baik secara lingkungan maupun sosial. Tanpa pengawasan yang memadai, inisiatif ini berisiko kehilangan kepercayaan publik dan menciptakan dampak jangka panjang yang merugikan.
Di sisi lain, pemerintah juga harus memastikan bahwa regulasi terkait pengelolaan tambang oleh ormas diterapkan secara tegas, termasuk melalui audit independen dan pendampingan teknis. Keberhasilan kebijakan ini dapat menjadi model baru dalam pengelolaan sumber daya alam yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Kesimpulan
Pemberian izin pengelolaan tambang kepada Muhammadiyah dan NU adalah peluang besar untuk mentransformasikan peran organisasi keagamaan dalam perekonomian nasional. Namun, langkah ini hanya akan berhasil jika tantangan teknis, lingkungan, dan etis dapat dikelola dengan baik.
Keberhasilan inisiatif ini akan menjadi cerminan apakah kolaborasi antara pemerintah dan ormas keagamaan mampu menciptakan model pengelolaan sumber daya alam yang lebih inklusif, bertanggung jawab, dan berkelanjutan.