VINANSIA.COM - Baru-baru ini, pemerintah melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) mencabut sebagian sertifikat hak guna bangunan (SHGB) yang dikeluarkan untuk tanah di sekitar kawasan pagar laut, Tangerang. Tanah ini sebelumnya dikuasai oleh perusahaan yang terafiliasi dengan Agung Sedayu Group, yakni PT Intan Agung Makmur (IAM).
Keputusan ini menyusul temuan bahwa sebagian dari 243 bidang SHGB yang dikeluarkan di kawasan tersebut, tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku—khususnya karena sebagian besar tanah yang tercatat dalam sertifikat tersebut berada di wilayah perairan, bukan di daratan yang dapat digunakan untuk pembangunan.
Pencabutan SHGB ini bukan sekadar soal administrasi tanah, namun menyentuh masalah hak atas wilayah perairan yang selama ini digunakan oleh para nelayan untuk mencari nafkah.
Para nelayan ini tidak memperjuangkan tanah itu dalam konteks kepemilikan, tetapi agar wilayah mereka tidak tergusur oleh pembangunan properti yang dapat mengancam mata pencaharian mereka.
Masalah dimulai ketika PT IAM mengklaim memiliki tanah yang berada di sekitar pagar laut dengan SHGB yang sah. Namun, sesuai dengan hasil pemeriksaan lapangan oleh pihak pemerintah, tanah yang dimaksud sudah masuk ke dalam kategori perairan dan seharusnya tidak bisa dikeluarkan sertifikat SHGB-nya.
Hukum yang berlaku di Indonesia mengatur bahwa tanah yang berada di wilayah perairan tidak dapat diberikan hak guna bangunan, mengingat lahan tersebut bukanlah milik pribadi melainkan bagian dari ruang publik yang dimanfaatkan masyarakat secara bersama.
Sementara itu, pihak perusahaan membantah klaim ini dan menyatakan bahwa mereka membeli tanah tersebut dari masyarakat. Namun, meskipun pembelian dilakukan, status hukum tanah tersebut tidak mengubah fakta bahwa tanah yang dikuasai tersebut kini berada dalam wilayah perairan yang seharusnya tidak dapat diberikan SHGB.
Hal ini memperlihatkan adanya ketidaksesuaian antara penguasaan tanah yang tercatat dalam dokumen resmi dan kondisi sebenarnya di lapangan.
Keputusan pemerintah ini tentunya menimbulkan berbagai reaksi, termasuk dari kalangan pemerintah desa setempat yang sempat membantah bahwa wilayah tersebut bukan perairan. Namun, setelah dilakukan pengecekan lapangan yang cermat, terbukti bahwa tanah tersebut memang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Proses pencabutan SHGB ini dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk mencabut hak atas tanah yang tidak sesuai dengan aturan.
Langkah ini, meskipun mungkin memicu kontroversi di kalangan para pengusaha dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam penguasaan tanah tersebut, merupakan bentuk nyata dari upaya pemerintah untuk menegakkan keadilan dan hak rakyat yang lebih kecil—dalam hal ini, para nelayan.
Dengan adanya pencabutan SHGB tersebut, pemerintah tidak hanya melindungi ekosistem perairan, tetapi juga menjaga hak nelayan yang selama ini menggantungkan hidupnya dari laut.
Pada akhirnya, keputusan ini adalah sebuah langkah yang tidak hanya mengacu pada hukum semata, tetapi juga pada prinsip keadilan sosial. Dalam konteks ini, kepentingan rakyat kecil, seperti nelayan yang hidup di sekitar kawasan tersebut, diutamakan agar mereka tidak terus terpinggirkan oleh investasi properti yang semakin masif.
Pencabutan SHGB ini bisa jadi sebuah contoh bagaimana hukum, yang kadang dianggap sebagai alat kekuasaan yang kaku, juga bisa menjadi instrumen untuk mewujudkan keadilan bagi mereka yang selama ini kurang mendapatkan perhatian.